Rabu, 20 Oktober 2010

PENYELEWENGAN MAKNA INSYA ALLAH DAN IKHLAS
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri.
Perkataan Insya Allah adalah salah satu dari lafadz dzikir kepada Allah SWT. Insya Allah berarti jika Allah menghendaki. Ungkapan ini biasa disebutkan orang Islam untuk menyatakan kesanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan atau memenuhi janji dengan menyandarkan kepada kehendak Allah SWT. Menurut perhitungannya, jika dikehendaki oleh Allah SWT, ia akan mampu melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya atau memenuhi janjinya dengan orang lain dan bukan sebaliknya digunakan untuk menyatakan ketidak sanggupan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Perintah atau anjuran untuk mengucapkan Insya Allah terdapat dalam firman Allah SWT , “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu :”Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali ( dengan menyebut )  Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah , “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” ( QS. 18 : 23 – 24 ).
Ayat ini turun sebagai teguran dan peringatan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas ucapannya kepada orang-orang Qurays yang menanyakan kepada beliau tentang roh, kisah Ashab al kahfi ( kisah tentang tujuh pemuda penghuni gua ) dan kisah Zulkarnain. Ketika itu beliau berkata, “ Besok aku akan kabarkan kepada kamu atas pertanyaan kamu”. Ketika itu Nabi Muhammad ( mungkin khilaf ) sehingga tidak memuji atau menyebut nama Allah SWT dan atau mengucapkan “insya Allah”. Sebahagian ada yang mengatakan bahwa Rasulullah merasa sangat yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyunya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Ternyata yang turun bukan wahyu mengenai jawaban pertanyaan orang Qurays melainkan QS. 18 ayat 23 – 24 tersebut yang mengingatkan bahwa tidak boleh megatakan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain kecuali mengaitkannya dengan kehendak ( masyi’ah ) Allah SWT dengan mengucapkan insya Allah. Karena bila seseorang tidak menyebutkan insya Allah, kemudian ia ternyata tidak dapat melakukan pekerjaan itu atau tidak dapat memenuhi janjinya, maka ia digolongkan sebagai pendusta.
Namun bila ia menyebutkan insya Allah, kemudian ternyata ia tidak dapat melakukannya setelah berusaha semaksimal mungkin, maka ia tidak digolongkan kepada pendusta, karena Allah SWT belum menghendakinya untuk melakukannya. Dalam ayat tersebut Allah SWT juga mengingatkan Rasulullah Muhammad SAW ( dan tentunya semua ummat Islam ), bila lupa menyebut insya Allah, haruslah segera menyebutkannya kemudian. Menurut at-Thabari, orang yang mengucapkan insya Allaha bila ia hendak melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah SAW dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang, bahwa tak ada sesuatupun yang dapat terwujud atau terjadi kecuali Allah SWT menghendakinya.      
Seseorang yang menyebutkan insya Allah sebagai ungkapan tekad dalam menyatakan kesanggupan dalam melakukan sesuatu atau kesanggupannya untuk memenuhi janji, tentunya akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukannya, seperti yang ditunjukkan oleh  Nabi Isma’il As ( sebelum ia menjadi Nabi ) kepada ayahnya Nabi Ibrahim As dalam kisah awal mula pensyari’atan ibadah qurban, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah berikut, “ Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperntahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” ( QS. As-Shaffat : 102 ). Isma’il benar-benar menjalankan dan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada ayahnya sebagai bentuk bahwa ia berusaha semaksimal mungkin untuk taat kepada perintah Allah dan bakti kepada orang tuanya.
Namun kadang, tidak sedikit orang yang mengkambing hitamkan Insya Allah dan menjadikannya sebagai alat untuk berlindung dari pengingkaran yang disengaja. Misal, ketika seseorang diminta untuk hadir dalam suatu pertemuan, apakah itu rapat, arisan, wirid, ia langsung berkata Insya Allah, dan ketika ia tidak hadir, lalu dimintai pertanggung jawaban atas ketidak hadirannya, ia berkata dengan entengnya, “ Kan saya bilang Insya Allah”. Penggunaan kata Insya Allah seperti ini sangat salah dan bahkan bisa diberikan hukuman dari Allah SWT. Karena ia telah dengan sengaja mempermainkan sebuah perkataan yang mengikut sertakan Allah di dalamnya.
Cerita berikut mungkin menarik untuk dicermati. Dikisahkan seseorang menempa pakaian safari ke tukang jahit, lalu sang tukang jahit berkata, “Insya Allah, pakaian ini selesai dijahit tiga minggu ke depan”. Selang tiga minggu, sepemilik baju datang untuk mengambil tempahan pakaiannya, dengan yakin ia bertanya, “Bagaimana pak, apakah tempahan saya sudah selesai dikerjakan ?” Sedikit tersenyum tukang jahit menjawab, “ Maaf pak, seharusnya sudah selesai, tapi ada sedikit kendala, Insya Allah akan selesai minggu depan”.
Seminggu kemudian, sesuai janji, sipemilik pakaian datang lagi, tapi kali inipun ia kembali kecewa dengan jawaban tukang jahit yang mengatakan bahwa jahitan pakaian tersebut belum selesai dikerjakan karena sesuatu hal, dan kembali pula ia bernjanji akan menyelesaikannya dalam tiga hari ke depan. Kali inipun ia masih memakai kata Insya Allah, untuk meyakinkan pelanggannya yang sudah kelihatan kesal itu.Tapi kali ini sipemilik pakaian sudah tidak dapat menahan sabarnya, dengan sedikit jengkel dia berkata, “ Begini saja pak, kalau pakai Insya Allah kapan selesainya, dan kalau tidak pakai Insya Allah kapan pula selesainya !”  
Pada akhirnya, ketika seseorang mengucapkan Insya Allah ketika diminta melakukan sesuatu pekerjaan ataupun janji mengadakan pertemuan, tidak jarang ia diminta menyebutkan apakah Insya Allah yang ia ucapkan itu Insya Allah berat, sedang atau ringan. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada pengklasifikasian kata Insya Allah tersebut. Sampai-sampai ada anekdot yang mengatakan bahwa kalau kata Insya Allah itu diucapkan oleh orang Arab, maka itu berarti sembilan puluh sembilan persen ia akan memenuhi janjinya, tetapi kalau yang mengucapkannya orang Indonesia, maka sembilan puluh sembilan persen ia tidak akan memenuhi janjinya itu. Na’udzu billaahi min dzaalik.
Adapun pengertian ikhlas adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Dalam hal melakukan perintah Allah ikhlas berarti, melakukan suatu perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Dalam ilmu tasawuf disebutkan, bahwa ikhlas menjadi syarat sahnya ibadah, sedangkan ahli fikih tidak berpendapat demikian. Dalam kajian tasawuf disebutkan bahwa ikhlas merupakan salah satu bagian dari makam Atau station yang harus dilalui seorang sufi untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika amal merupakan badan jasmani, maka ikhlas adalah roh ( jiwa ) nya. Ikhlas biasanya berhubungan dengan niat seseorang.
Beberapa ayat yang dijadikan dasar niat ikhlas antara lain, surat an-Nisa, ayat 146, al-Anfal ayat 29, az-Zumar ayat 2 dan 11, al-Baqarah ayat 139, Luqman ayat 32 dan al-Bayyinah ayat 5. Pada surah al-Bayyinah Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus...”. Dalam ayat ini perintah ikhlas dikemukakan secara tegas oleh Allah SWT. Bila seseoang melakukan sesuatu terutama yang berhubungan dengan ibadah, tidak semata-mata karena Allah, tetapi ada unsur lain yang ikut terlibat seperti riya’ dan alasan lainnya, maka bukan saja amalnya itu tidak diterima Allah tetapi ia juga akan bisa sampai ketingkatan syirik, karena menyandarkan amalnya kepada Allah dan selain Allah, artinya ia menduakan Allah SWT.
Demikianpun dalam sabda Rasulullah Muhammad SAW, beliau tegas menyatakan, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Sungguh bagi seseorang ( yang melakukan perbuatan ) menurut apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia ia akan memperolehnya atau kepada perempuan yang akan ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia niatkan itu” ( HR. Bukhari ).
Sabda tersebut disampaikan Rasulullah pada saat melakukan hijrah bersama dengan para sahabat menuju Madinah. Beliau mengetahui bahwa dalam rombongan terdapat beberapa orang yang berhijrah bukan murni semata-mata untuk menyelamatkan dan mengembangkan agama Allah ( Islam ) tetapi dikarenakan sesuatu. Salah satunya adalah seseoang yang ikut berhijrah hanya karena kekasihnya ikut dalam rombongan tersebut.  Menurut sejarah, ucapan Rasulullah itu menjadi kenyataan; orang tersebut berhasil menikahi perempuan yang ia cintai namun ke Islamannya menjadi luntur.
Dalam pembicaraan keseharian, ikhlas biasa juga dikaitkan dengan kerelaan dalam berinfak, bersedekah. Misal seseorang berkata, “Lebih baik berinfak sedikit, yang penting ikhlas, daripada berinfak banyak tetapi tidak ikhlas”. Perkataan seperti ini adalah suatu yang sangat keliru. Bila hal itu kita benarkan, maka bila urusannya masalah ibadah penting seperti shalat, puasa dan lainnya, maka lebih baik shalat sedikit yang penting ikhlas. Ini sungguh suatu penyelewengan kepada makna ikhlas itu sendiri. Karena banyaknya pemikiran seperti inilah mungkin, kemudian muncul sebuah pertanyaan, “ Mengapa pembangunan masjid selalu selesainya lama, bahkan bertahun-tahun?” Jawabnya adalah, karena ummat di sekitar masjid tersebut berlomba ikhlas dalam menyumbang”.
Karenanya maka, pernyataannya harus diganti dengan kalimat, “Berinfak banyak tetapi ikhlas, itu jauh lebih baik daripada berinfak sedikit walaupun ikhlas”. Bila ummat memahami dan mengamalkan pernyataan yang kedua ini, Insya Allah banyak persoalan keummatan yang dapat dilaksanakan, apakah itu masalah kemiskinan, dakwah, pembangunan masjid, rumah sakit Islam ataupun masalah pendidikan anak-anak terlantar dan lain-lain.
Lagi pula, sesuatu yang sangat naif, apabila kita mempunyai harta yang banyak, lalu bersedekah, berinfak sedikit, kemudian dengan enteng kita berkata, “Saya Ikhlas”. Ikhlas baru boleh diutarakan apabila dalam mengeluarkan infak ataupn sedekah, ada sesuatu yang terasa hilang dari sebagian harta tersebut. Bila kita mempunyai uang satu juta rupiah misalnya, lalu kita berinfak Cuma Rp 2500,- ( dua ribu lima ratus rupiah ), maka sebaiknya tidak usahlah mengatakan, “Biar sedikit yang penting saya ikhlas”.
Maka berbahagialah mereka yang hatinya ikhlas, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, “ Sungguh berbahagialah seseorang yang ikhlas hatinya untuk beriman, menjadikan hatinya pasrah, lisannya benar, jiwanya tenang, menjadikan telinganya mendengar, matanya melihat. Telinga merupakan corong, mata menjadi pengakuan kepada apa yang telah dipelihara hati” ( HR. Imam Ahmad ).
Demikianlah, bahwa dua kata yang sebenarnya sangat suci; Insya Allah dan Ikhlas, tidak jarang disalah gunakan/ diselewengkan/ dikambing hitamkan oleh ummat Islam itu sendiri. Mereka menjadikan kata Insya Allah dan ikhlas ibarat sebuah perkataan mainan dan olok-olok. Pada akhirnya, ketika seseorang mengatakan Insya Allah ketika berjanji atau ingin melakukan sesuatu, maka image dan pemikiran yang muncul kemudian adalah , apabila orang itu tidak jadi melakukannya, maklumi saja karena memang ia hanya berkata Insya Allah. Sekali lagi, Na’udzu billaahi min dzaalik.

Lebih Dekat Dengan Ibadah

LEBIH DEKAT DENGAN IBADAH
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri
Firman Allah SWT, “Dan tidak Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah / menyembah-Ku” ( QS. Az-Zaariyat : 56 ). Ini adalah landasan dasar tentang tujuan penciptaan manusia ke muka bumi ini. Tulisan kali ini ingin membawa kita kepada pengenalan lebih dekat tentang ibadah.
Secara bahasa, ibadah berarti ta’at, tunduk, menurut, mengikut dan do’a. Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Qur-an, antara lain firman Allah SWT , “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” ( QS. Yasin : 60 ). Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk.  Pertama, ibadah jasmaniah rohiah          (rohaniah) , yaitu perpaduan ibadah jasmani dan rohani, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah rohiah dan maliah, yaitu perpaduan antara ibadah rohani dan harta, seperti zakat. Ketiga, ibadah jasmaniah, rohiah dan maliah sekaligus, seperti melaksanakan haji. Adapun ibadah ditinjau dari segi kepentingannya ada dua, yaitu kepentingan fardi ( perorangan ) seperti shalat dan puasa, serta kepentingan ijtima’i ( masyarakat ), seperti zakat dan haji.
Sementara ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dapat dikategorikan kepada lima macam, (1) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan ( ucapan lidah ), seperti berzikir, berdo’a, membaca Al-Qur-an. (2) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad dan tajhij al janajah   ( pengurusan jenajah ). (3) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya seperti shalat, puasa, zakat dan haji.  (4) Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf dan ihram dan (5) Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.
Hakikat ibadah adalah menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat az-Zaariyat ayat 56. Dengan demikian, nyatalah bahwa manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk hidup menempati dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini dinyatakan pula oleh Allah dalam firman-Nya, “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus” ( QS. Al-Bayyinah : 5 ). Dari ayat tersebut, dapat diartikan bahwa manusia diciptakan bukan sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung jawab, akan tetapi penciptaannya melebihi penciptaan makhluk lainnya.
Pada hakikatnya, manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada Allah. Karena itu tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman, “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa” ( QS.al-Baqarah : 21 ). Pada prinsipnya, ibadah merupakan sari ajaran Islam, yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan prilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada Allah SWT. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak dan berakibat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah atau tidaknya manusia, tidaklah mengurangi keagungan, kekuasaan dan kebesaran Allah SWT sebagai Rabb ( pencipta, penguasa, pemelihara, pemilik ) alam semesta ini.
Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syari’at tentang kewajiban pengabdian kepada Allah SWT.
Dalam syari’at Islam diungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua bentuk aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah SWT, sebab Ia adalah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia serta alam. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah SWT tidak membebankan kepada manusia kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri.  Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun anjuran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-larangan-Nya; jika manusia mematuhinya, maka semuanya akan bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT, bernilai ibadah.
Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundanag campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas ( sebab akibat ). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari yang Maha Kuasa. Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, karena Dia lah yang telah ‘ammah.menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
Macam-Macam Ibadah
Secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam; ibadah khassah dan ibadah ‘ammah.  Ibadah khassah ( khusus ) atau disebut juga ibadah mahdah ( ibadah yang ketentuannya pasti ), yakni ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji. Sedangkan ibadah ‘ammah ( umum ), adalah semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan, bekerja mencari nafkah dll. Dalam hal ini, niat menjadi sesuatu yang sangat penting. Bila seseorang bekerja dengan niat agar dapat menafkahi keluarga dan dapat mendekatkan diri kepada Allah , maka ia akan bernilai ibadah . Seseorang yang makan dengan niat untuk beribadah dengan seseorang yang makan dengan niat agar kuat dan sehat, tentunya berbeda dalam niatnya.
Dalam ibadah ‘ammah, adanya usaha untuk mendapatkan suatu kebajikan berkaitan erat dengan sikap dan prilaku seseorang dalam kehidupannya. Sikap dan prilaku itu ada hubungannya dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Bila manusia sadar akan dirinya, akan fungsinya dan sadar darimana ia datang dan akan kemana ia pulang, tentu dia akan mengikuti rumusan tujuan hidup yang berasal dari penciptanya.Dia tidak akan keluar dari konsepsi yang telah Allah augerahkan kepadanya. Semua fasilitas yang ada di muka bumi akan dijadikannya menjadi sesuatu yang dapat mendekatkannya dengan Allah SWT.
Manusia yang mampu menjadikan semua aktivitas dirinya untuk mendapatkan ridha Allah SWT berarti melakukan suatu amal ibadah yang amat besar artinya dalam mencapai tujuan hidup yang telah ditetapkan Allah SWT.  Yang dimaksud dengan segala aktivitas di sini ialah semua bentuk usaha yang dilakukannya, seperti bertani, berdagang, berorganisasi, buruh, sebagai pengusaha, da’i, belajar, mengajar, menarik beca dan lain sebagainya. Semuanya akan menjadi ibdah ‘ammah bila dilandasi dengan niat mencari keridhaan Allah SWT dan dilaksanakannya juga mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh – Nya.

  

Muroqobah

M U R O Q O B A H
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri.

Muroqobah ialah selalu merasa diawasi dan disertai oleh Allah SWT. Allah telah mengingatkan bahwa sesungguhnya Dia itu cahaya di atas cahaya dan cahayaNya bisa menembus tembok setebal apapun dan terbuat dari bahan apapun. Demikianpun Ia mengingatkan bahwa Sesungguhnya Tuhanmu amat sangat Maha Peneliti ( QS.Al-Fajr).  Lalu Allah juga mengingatkan bahwa, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya ( manusia ) melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” ( QS.Qaf: 18 ). Dua malaikat yanga dimaksud adalah Raqib dan ‘Atid.
Muroqobah merupakan salah satu akhlak Islam yang segarusnya dimiliki oleh setiap muslim. Karena dengan keyakinan yang kuat bahwa kita senantiasa berada dalam pengawasan Allah SWT, akan mendorong kita untuk senantiasa giat dan gigih melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Muroqobah akan melahirkan sikap yang adil dan jujur . Kejujuran dan keadilan dalam hidup adalah modal utama dalam mewujudkan keselamatan baik di dunia utamanya di akhirat.  Berbuat adil dan jujur juga merupakan akhlak Islam yanag bahkan diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar ( dengan efektif dan konsisten ) menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri sendiri ataupun ibu bapak dan kaum kerabat” ( QS. An-Nisa’ : 135 ).
Dalam pengertian yang lain, muroqobah dapat diartikan kewaspadaan atau pengawasan, yakni teliti dan hati-hati serta bersikap siaga menghadapi segala sesuatu yang menakutkan dan membahayakan, yang sewaktu-waktu menimpa diri. Kewaspadaan memang perlu  dalam kehidupan, karena shiratal mustaqim ( jalan lurus ) yang selalu kita mohon bimbingan Allah untuk dapat melaluinya, memang harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan waspada. Bila tidak hati-hati dan waspada, maka sangat mungkin kita tergelincir di atasnya dan jatuh ke lembah yang hina.
Lebih dari itu, setiap orang diminta untuk selalu waspada dalam setiap setiap  langkah dan aktivitasnya  ketika mengarungi hidup dan kehidupan ini. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabda beliau, “Sesungguhnya dunia ini sangat manis dan indah ( menarik perhatian ) dan Allah menyerahkan kepada kamu untuk dilihat bagaimana kamu berbuat, karena itu berhati-hatilah ( waspadalah ) dan berhati-hatilah dalam dunia dan berhati-hatilah dari wanita “ ( HR.Muslim ). Dalam tulisan singkat ini akan diuraikan sedikitnya empat hal yang perlu diwaspadai.
Pertama, mewaspadai kemaksiatan.  Kemaksiatan sering dilakukan orang dalam hidupnya baik disengaja maupun karena terlena. Apapun alasannya, kemaksiatan tetaplah kemaksiatan.  Sebagai seorang muslim, kita dianjurkan untuk terus mewaspadai kemaksiatan. Dalam sebuah haduts, Rasulullah SAW bersabda, “ Peliharalah  ( perintah ) Allah. Maka Allah akan memeliharamu, dan peliharalah  ( larangan ) Allah, niscaya kamu dapati Allah selalu di hadapanmu “ ( HR. Attirmidzi ).
Hadits ini dengan tegas memerintahkan kepada kita ummat Islam untuk waspada diri dari segala kemaksiatan dengan cara memelihara amanah dan perintah Allah, yakni mengikuti segala perintah-Nya dan semaksimal mungkin menjauhi segala larangan-Nya. Dalam hal mewaspadai diri dari berbagai bentuk maksiat, kita harus merasa takut kalau-kalau Allah menurunkan murka-Nya, menghentikan bantuan dan pertolongan-Nya, menyetop rezeki atau mungkin menghentikan pemeliharaan-Nya kepada kita.  Selain itu, waspada dari maksiat  juga dapat dilakukan dengan cara jangan sekali-kali berniat atau merencanakan perbautan maksiat, menjauhi tempat-tempat maksiat dan menghindar dari berteman dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, sebaliknya carilah teman yang sholeh-sholeha. Orang bijak berkata, “ Bila seseorang berteman dengan orang jahat, sedikit demi sedikit kejahatan temannya itu akan ia kerjakan tanpa ia sadari, bahkan ia bisa lebih jahat dari temannya itu, dan siapa yang membiasakan berteman dengan orang-orang yang baik, sedikit demi sedikit kebaikan temannya itu akan ia teladani dan boleh jadi ia akan lebih baik dari temannya itu”. Selanjutnya, agar diri terhindar dari perbuatan maksiat, sebaiknya memperbanyak zikrullah, sebab seseorang yang terus menerus ingat kepada Allah, ia tidak akan melakukan kemaksiatan.
Kedua, mewaspadai keluarga. Benar bahwa keluarga adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan teman, istri, anak dan keluarga. Tapi tidak jarang keluarga dan anak seringkali menyebabkan manusia lupa dan lalai, bahkan terdorong untuk melakukan hal-hal yang terlarang dalama agama.  Kadang karena kecintaan kepada keluarga, tidak jarang membuat seseorang nekat melakukan korupsi, manipulasi, kolusi dan lain sebagainya. Berlindung di balik rasa cinta yang mendalam kepada keluarga, kadang seseorang merelakan dirinya melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama.
Dalam hal kewaspadaan terhadap anak dan keluarga, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguh di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terdahap mereka “ ( QS. 64 : 14 ).  Yang dimaksud musuh dalam ayat ini, bahwa istri atau anak kadang dapat menjerumuskan suami atau ayahnya kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam agama.
Ketiga, waspada dari mengikuti hawa nafsu.  Nafsu merupakan elemen dari rohaniah manusia yang seringkali menyeret manusia melakukan perbuatan yang tidak baik dan meninggalkan kebenaran, baik itu kebenaran yang datang dari Allah ataupun kebenaran yang disepakati oleh manusia. Nafsu yang harus diwaspadai di antaranya adalah nafsu birahi/ seks, nafsu amarah, nafsu serakah, tamak dan lainnya. Waspada dan berhati-hati dari mengikutkan ahwa nafsu, berarti menjauhkan diri dari neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Neraka diliputi dengan syahwat hawa nafsu dan syurga diliputi dengan kesukaran dan keberatan”  (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa syurga dan neraka tergantung atau ditentukan oleh pengendalian hawa nafsu. Mengendalikan hawa nafsu sesungguhnya merupakan pekerjaan yang sulit dan berat. Namun bila seseorang senantiasa dalam keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasinya dan meyakini bahwa menurutkan nafsu hanya akan memberikan kebahagiaan sesaat,  maka mengendalikan nafsu bukanlah pekerjaan yang sulit.
Orang-orang yang mampu mengendalikan dan mewaspadai hawa nafsunya, berarti ia telah mencari keridhaan Allah dan menuju kepada keberuntungan dan kebahagiaan abadi yaitu syurga yang dijanjikan Allah SWT. Firman Allah, “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar  beserta orang-orang yang berbuat baik “ ( QS. 29 : 69
Di jaman seperti sekarang ini, adalah sangat penting bagi kita untuk senantiasa mengendalikan hawa nafsu, hal ini demi terhindarnya diri kita dari berbagai godaan duniawi yang sangat mempesona. Apakah itu godaan material, wanita-wanita cantik, barang-barang berharga seperti emas, intan, berlian, barang mewah seperti mobil, rumah mewah, pangkat jabatan seperti jabatan walikota, gubernur, atau kehidupan kota yang gemerlap dengan segala fasilitas kemaksiatan yang gampang diakses. Jika nafsu tidak dikendalikan, maka akan terjadilah suatu upaya yang membabi buta, menghalalkan segala cara demi menuruti keinginan hawa nafsu Hukum Allah di langgar, larangan Allah di “tabrak”, perintah Allah diabaikan dan disepelekan. Lalu kemudian mereka membuat hukum sendiri. Kalaupun mereka mengambil hukum dari Al-Qur-an, mereka mengambilnya setengah-setengah; bila menguntungkan bagi mereka,diambil, tetapi bila merugikan mereka abaikan. Poligami mereka terima dengan tangan terbuka, tetapi hukum potong tangan bagi pelaku korupsi, mereka tolak mentah-mentah dengan alasan akan abanyak orang yang tangannya buntung/puntung.
Mewaspadai dan mengendalikan hawa nafsu sesungguhnya dapat dilakukan dengan cara memperbanyak zikrullah, membiasakan diri pandai mensyukuri nikmat Allah sekecil apapun nikmat yang kita terima, sebab sebenarnya nikmat yang kita terima itu sangat besar, karena kesalahan dan dosa yang kita lakukan ternyata jauh lebih besar. Kemudian mempertebal dan memelihara sifat qona’ah / menerima dengan ikhlas dan rela pemberian Allah SWT. Memelihara penglihatan, mulut, tangan, kaki dan terutamanya hati, serta menyadari bahwa sesungguhnya hanya kerugian yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menurutkan hawa nafsunya.
Keempat waspada terhadap orang kafir dan munafik. Golongan kafir dan mnafik merupakan musuh utama ummat Islam. Namun bila harus menomor satukan, maka sesungguhnya musuh ummat yang paling besar adalah golongan munafik, sebab ia bisa saja berasal dari ummat Islam itu sendiri. Kalau golongan kafir, telah jelas statusnya, tetapi golongan munafik identitas mereka kadang tersamar dengan penampilannya yang sangat menarik. Dalam hidup kemunafikan yang ada adalah kepalsuan, topeng penipuan. Meskipun golongan kafir selalu dan akan senantiasa memusuhi ummat Islam, tetapi akibat yang disebabkan permusuhan golongan munafik jauh lebih besar. Hal ini disebabkan karena orang-orang munafik menyembunyikan permusuhannya terhadap Islam. Mereka ibarat api dalam sekam, ibarat musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Mereka ( orang-orang munafik ) bermuka manis dan berkata indah di hadapan ummat Islam, seakan-akan mereka itu merupakan pemeluk Islam paling taat, dan pembela Islam sejati, tetapi ternyata ucapan mereka ternyata adalah tipuan dan pada saat tepat mereka  menikam dari belakang. 
Dalam sejarah panjang perjalanan Islam, kelompok munafik inilah yang paling sulit dideteksi oleh Rasulullah. Bahkan keluarga Rasul sendiri pernah menjadi korban dari orang-orang munafik itu. Karenanya Allah sangat murka dengan golongan ini, Allah bahkan menegaskan bahwa tempat orang-orang munafik adalah keraknya neraka ( Neraka paling bawah dan panas ). Karenanya, sebagai ummat Islam, hendaklah kita meningkatkan kewaspadaan terhadap kedua golongan ini ; kafir dan munafik. Menurut para ‘ulama tafsir mengapa surat Attaubah tidak didahului dengan Bismillaahirrrahmaanirraahiim, itu adalah karena dalam surat itu Allah menceritakan tentang sifat dan sikap orang-orang munafik dan Allah sangat benci dengan mereka, sehingga tidak pantas untuk menceritakan mengenai mereka didahului dengan perkataan yang baik.
Mewaspadai golongan kafir dan munafik, adalah dengan merapatkan shaf ( barisan ), memperkokoh persaudaraan sesama Islam, memperkuat persatuan dan kesatuan, mempertebal keimanan kepada Allah SWT, berhati-hati dalam menjalin kerja sama atau kesepakatan dengan kedua golongan tersebut. Allah mengingatkan kita, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” ( QS. 3 :103 ).

Muroqobah