Rabu, 20 Oktober 2010

PENYELEWENGAN MAKNA INSYA ALLAH DAN IKHLAS
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri.
Perkataan Insya Allah adalah salah satu dari lafadz dzikir kepada Allah SWT. Insya Allah berarti jika Allah menghendaki. Ungkapan ini biasa disebutkan orang Islam untuk menyatakan kesanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan atau memenuhi janji dengan menyandarkan kepada kehendak Allah SWT. Menurut perhitungannya, jika dikehendaki oleh Allah SWT, ia akan mampu melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya atau memenuhi janjinya dengan orang lain dan bukan sebaliknya digunakan untuk menyatakan ketidak sanggupan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Perintah atau anjuran untuk mengucapkan Insya Allah terdapat dalam firman Allah SWT , “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu :”Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali ( dengan menyebut )  Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah , “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” ( QS. 18 : 23 – 24 ).
Ayat ini turun sebagai teguran dan peringatan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas ucapannya kepada orang-orang Qurays yang menanyakan kepada beliau tentang roh, kisah Ashab al kahfi ( kisah tentang tujuh pemuda penghuni gua ) dan kisah Zulkarnain. Ketika itu beliau berkata, “ Besok aku akan kabarkan kepada kamu atas pertanyaan kamu”. Ketika itu Nabi Muhammad ( mungkin khilaf ) sehingga tidak memuji atau menyebut nama Allah SWT dan atau mengucapkan “insya Allah”. Sebahagian ada yang mengatakan bahwa Rasulullah merasa sangat yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyunya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Ternyata yang turun bukan wahyu mengenai jawaban pertanyaan orang Qurays melainkan QS. 18 ayat 23 – 24 tersebut yang mengingatkan bahwa tidak boleh megatakan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain kecuali mengaitkannya dengan kehendak ( masyi’ah ) Allah SWT dengan mengucapkan insya Allah. Karena bila seseorang tidak menyebutkan insya Allah, kemudian ia ternyata tidak dapat melakukan pekerjaan itu atau tidak dapat memenuhi janjinya, maka ia digolongkan sebagai pendusta.
Namun bila ia menyebutkan insya Allah, kemudian ternyata ia tidak dapat melakukannya setelah berusaha semaksimal mungkin, maka ia tidak digolongkan kepada pendusta, karena Allah SWT belum menghendakinya untuk melakukannya. Dalam ayat tersebut Allah SWT juga mengingatkan Rasulullah Muhammad SAW ( dan tentunya semua ummat Islam ), bila lupa menyebut insya Allah, haruslah segera menyebutkannya kemudian. Menurut at-Thabari, orang yang mengucapkan insya Allaha bila ia hendak melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah SAW dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang, bahwa tak ada sesuatupun yang dapat terwujud atau terjadi kecuali Allah SWT menghendakinya.      
Seseorang yang menyebutkan insya Allah sebagai ungkapan tekad dalam menyatakan kesanggupan dalam melakukan sesuatu atau kesanggupannya untuk memenuhi janji, tentunya akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukannya, seperti yang ditunjukkan oleh  Nabi Isma’il As ( sebelum ia menjadi Nabi ) kepada ayahnya Nabi Ibrahim As dalam kisah awal mula pensyari’atan ibadah qurban, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah berikut, “ Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperntahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” ( QS. As-Shaffat : 102 ). Isma’il benar-benar menjalankan dan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada ayahnya sebagai bentuk bahwa ia berusaha semaksimal mungkin untuk taat kepada perintah Allah dan bakti kepada orang tuanya.
Namun kadang, tidak sedikit orang yang mengkambing hitamkan Insya Allah dan menjadikannya sebagai alat untuk berlindung dari pengingkaran yang disengaja. Misal, ketika seseorang diminta untuk hadir dalam suatu pertemuan, apakah itu rapat, arisan, wirid, ia langsung berkata Insya Allah, dan ketika ia tidak hadir, lalu dimintai pertanggung jawaban atas ketidak hadirannya, ia berkata dengan entengnya, “ Kan saya bilang Insya Allah”. Penggunaan kata Insya Allah seperti ini sangat salah dan bahkan bisa diberikan hukuman dari Allah SWT. Karena ia telah dengan sengaja mempermainkan sebuah perkataan yang mengikut sertakan Allah di dalamnya.
Cerita berikut mungkin menarik untuk dicermati. Dikisahkan seseorang menempa pakaian safari ke tukang jahit, lalu sang tukang jahit berkata, “Insya Allah, pakaian ini selesai dijahit tiga minggu ke depan”. Selang tiga minggu, sepemilik baju datang untuk mengambil tempahan pakaiannya, dengan yakin ia bertanya, “Bagaimana pak, apakah tempahan saya sudah selesai dikerjakan ?” Sedikit tersenyum tukang jahit menjawab, “ Maaf pak, seharusnya sudah selesai, tapi ada sedikit kendala, Insya Allah akan selesai minggu depan”.
Seminggu kemudian, sesuai janji, sipemilik pakaian datang lagi, tapi kali inipun ia kembali kecewa dengan jawaban tukang jahit yang mengatakan bahwa jahitan pakaian tersebut belum selesai dikerjakan karena sesuatu hal, dan kembali pula ia bernjanji akan menyelesaikannya dalam tiga hari ke depan. Kali inipun ia masih memakai kata Insya Allah, untuk meyakinkan pelanggannya yang sudah kelihatan kesal itu.Tapi kali ini sipemilik pakaian sudah tidak dapat menahan sabarnya, dengan sedikit jengkel dia berkata, “ Begini saja pak, kalau pakai Insya Allah kapan selesainya, dan kalau tidak pakai Insya Allah kapan pula selesainya !”  
Pada akhirnya, ketika seseorang mengucapkan Insya Allah ketika diminta melakukan sesuatu pekerjaan ataupun janji mengadakan pertemuan, tidak jarang ia diminta menyebutkan apakah Insya Allah yang ia ucapkan itu Insya Allah berat, sedang atau ringan. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada pengklasifikasian kata Insya Allah tersebut. Sampai-sampai ada anekdot yang mengatakan bahwa kalau kata Insya Allah itu diucapkan oleh orang Arab, maka itu berarti sembilan puluh sembilan persen ia akan memenuhi janjinya, tetapi kalau yang mengucapkannya orang Indonesia, maka sembilan puluh sembilan persen ia tidak akan memenuhi janjinya itu. Na’udzu billaahi min dzaalik.
Adapun pengertian ikhlas adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Dalam hal melakukan perintah Allah ikhlas berarti, melakukan suatu perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Dalam ilmu tasawuf disebutkan, bahwa ikhlas menjadi syarat sahnya ibadah, sedangkan ahli fikih tidak berpendapat demikian. Dalam kajian tasawuf disebutkan bahwa ikhlas merupakan salah satu bagian dari makam Atau station yang harus dilalui seorang sufi untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika amal merupakan badan jasmani, maka ikhlas adalah roh ( jiwa ) nya. Ikhlas biasanya berhubungan dengan niat seseorang.
Beberapa ayat yang dijadikan dasar niat ikhlas antara lain, surat an-Nisa, ayat 146, al-Anfal ayat 29, az-Zumar ayat 2 dan 11, al-Baqarah ayat 139, Luqman ayat 32 dan al-Bayyinah ayat 5. Pada surah al-Bayyinah Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus...”. Dalam ayat ini perintah ikhlas dikemukakan secara tegas oleh Allah SWT. Bila seseoang melakukan sesuatu terutama yang berhubungan dengan ibadah, tidak semata-mata karena Allah, tetapi ada unsur lain yang ikut terlibat seperti riya’ dan alasan lainnya, maka bukan saja amalnya itu tidak diterima Allah tetapi ia juga akan bisa sampai ketingkatan syirik, karena menyandarkan amalnya kepada Allah dan selain Allah, artinya ia menduakan Allah SWT.
Demikianpun dalam sabda Rasulullah Muhammad SAW, beliau tegas menyatakan, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Sungguh bagi seseorang ( yang melakukan perbuatan ) menurut apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia ia akan memperolehnya atau kepada perempuan yang akan ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia niatkan itu” ( HR. Bukhari ).
Sabda tersebut disampaikan Rasulullah pada saat melakukan hijrah bersama dengan para sahabat menuju Madinah. Beliau mengetahui bahwa dalam rombongan terdapat beberapa orang yang berhijrah bukan murni semata-mata untuk menyelamatkan dan mengembangkan agama Allah ( Islam ) tetapi dikarenakan sesuatu. Salah satunya adalah seseoang yang ikut berhijrah hanya karena kekasihnya ikut dalam rombongan tersebut.  Menurut sejarah, ucapan Rasulullah itu menjadi kenyataan; orang tersebut berhasil menikahi perempuan yang ia cintai namun ke Islamannya menjadi luntur.
Dalam pembicaraan keseharian, ikhlas biasa juga dikaitkan dengan kerelaan dalam berinfak, bersedekah. Misal seseorang berkata, “Lebih baik berinfak sedikit, yang penting ikhlas, daripada berinfak banyak tetapi tidak ikhlas”. Perkataan seperti ini adalah suatu yang sangat keliru. Bila hal itu kita benarkan, maka bila urusannya masalah ibadah penting seperti shalat, puasa dan lainnya, maka lebih baik shalat sedikit yang penting ikhlas. Ini sungguh suatu penyelewengan kepada makna ikhlas itu sendiri. Karena banyaknya pemikiran seperti inilah mungkin, kemudian muncul sebuah pertanyaan, “ Mengapa pembangunan masjid selalu selesainya lama, bahkan bertahun-tahun?” Jawabnya adalah, karena ummat di sekitar masjid tersebut berlomba ikhlas dalam menyumbang”.
Karenanya maka, pernyataannya harus diganti dengan kalimat, “Berinfak banyak tetapi ikhlas, itu jauh lebih baik daripada berinfak sedikit walaupun ikhlas”. Bila ummat memahami dan mengamalkan pernyataan yang kedua ini, Insya Allah banyak persoalan keummatan yang dapat dilaksanakan, apakah itu masalah kemiskinan, dakwah, pembangunan masjid, rumah sakit Islam ataupun masalah pendidikan anak-anak terlantar dan lain-lain.
Lagi pula, sesuatu yang sangat naif, apabila kita mempunyai harta yang banyak, lalu bersedekah, berinfak sedikit, kemudian dengan enteng kita berkata, “Saya Ikhlas”. Ikhlas baru boleh diutarakan apabila dalam mengeluarkan infak ataupn sedekah, ada sesuatu yang terasa hilang dari sebagian harta tersebut. Bila kita mempunyai uang satu juta rupiah misalnya, lalu kita berinfak Cuma Rp 2500,- ( dua ribu lima ratus rupiah ), maka sebaiknya tidak usahlah mengatakan, “Biar sedikit yang penting saya ikhlas”.
Maka berbahagialah mereka yang hatinya ikhlas, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, “ Sungguh berbahagialah seseorang yang ikhlas hatinya untuk beriman, menjadikan hatinya pasrah, lisannya benar, jiwanya tenang, menjadikan telinganya mendengar, matanya melihat. Telinga merupakan corong, mata menjadi pengakuan kepada apa yang telah dipelihara hati” ( HR. Imam Ahmad ).
Demikianlah, bahwa dua kata yang sebenarnya sangat suci; Insya Allah dan Ikhlas, tidak jarang disalah gunakan/ diselewengkan/ dikambing hitamkan oleh ummat Islam itu sendiri. Mereka menjadikan kata Insya Allah dan ikhlas ibarat sebuah perkataan mainan dan olok-olok. Pada akhirnya, ketika seseorang mengatakan Insya Allah ketika berjanji atau ingin melakukan sesuatu, maka image dan pemikiran yang muncul kemudian adalah , apabila orang itu tidak jadi melakukannya, maklumi saja karena memang ia hanya berkata Insya Allah. Sekali lagi, Na’udzu billaahi min dzaalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar