Rabu, 20 Oktober 2010

PENYELEWENGAN MAKNA INSYA ALLAH DAN IKHLAS
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri.
Perkataan Insya Allah adalah salah satu dari lafadz dzikir kepada Allah SWT. Insya Allah berarti jika Allah menghendaki. Ungkapan ini biasa disebutkan orang Islam untuk menyatakan kesanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan atau memenuhi janji dengan menyandarkan kepada kehendak Allah SWT. Menurut perhitungannya, jika dikehendaki oleh Allah SWT, ia akan mampu melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya atau memenuhi janjinya dengan orang lain dan bukan sebaliknya digunakan untuk menyatakan ketidak sanggupan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Perintah atau anjuran untuk mengucapkan Insya Allah terdapat dalam firman Allah SWT , “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu :”Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali ( dengan menyebut )  Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah , “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” ( QS. 18 : 23 – 24 ).
Ayat ini turun sebagai teguran dan peringatan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas ucapannya kepada orang-orang Qurays yang menanyakan kepada beliau tentang roh, kisah Ashab al kahfi ( kisah tentang tujuh pemuda penghuni gua ) dan kisah Zulkarnain. Ketika itu beliau berkata, “ Besok aku akan kabarkan kepada kamu atas pertanyaan kamu”. Ketika itu Nabi Muhammad ( mungkin khilaf ) sehingga tidak memuji atau menyebut nama Allah SWT dan atau mengucapkan “insya Allah”. Sebahagian ada yang mengatakan bahwa Rasulullah merasa sangat yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyunya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Ternyata yang turun bukan wahyu mengenai jawaban pertanyaan orang Qurays melainkan QS. 18 ayat 23 – 24 tersebut yang mengingatkan bahwa tidak boleh megatakan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain kecuali mengaitkannya dengan kehendak ( masyi’ah ) Allah SWT dengan mengucapkan insya Allah. Karena bila seseorang tidak menyebutkan insya Allah, kemudian ia ternyata tidak dapat melakukan pekerjaan itu atau tidak dapat memenuhi janjinya, maka ia digolongkan sebagai pendusta.
Namun bila ia menyebutkan insya Allah, kemudian ternyata ia tidak dapat melakukannya setelah berusaha semaksimal mungkin, maka ia tidak digolongkan kepada pendusta, karena Allah SWT belum menghendakinya untuk melakukannya. Dalam ayat tersebut Allah SWT juga mengingatkan Rasulullah Muhammad SAW ( dan tentunya semua ummat Islam ), bila lupa menyebut insya Allah, haruslah segera menyebutkannya kemudian. Menurut at-Thabari, orang yang mengucapkan insya Allaha bila ia hendak melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah SAW dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang, bahwa tak ada sesuatupun yang dapat terwujud atau terjadi kecuali Allah SWT menghendakinya.      
Seseorang yang menyebutkan insya Allah sebagai ungkapan tekad dalam menyatakan kesanggupan dalam melakukan sesuatu atau kesanggupannya untuk memenuhi janji, tentunya akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukannya, seperti yang ditunjukkan oleh  Nabi Isma’il As ( sebelum ia menjadi Nabi ) kepada ayahnya Nabi Ibrahim As dalam kisah awal mula pensyari’atan ibadah qurban, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah berikut, “ Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperntahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” ( QS. As-Shaffat : 102 ). Isma’il benar-benar menjalankan dan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada ayahnya sebagai bentuk bahwa ia berusaha semaksimal mungkin untuk taat kepada perintah Allah dan bakti kepada orang tuanya.
Namun kadang, tidak sedikit orang yang mengkambing hitamkan Insya Allah dan menjadikannya sebagai alat untuk berlindung dari pengingkaran yang disengaja. Misal, ketika seseorang diminta untuk hadir dalam suatu pertemuan, apakah itu rapat, arisan, wirid, ia langsung berkata Insya Allah, dan ketika ia tidak hadir, lalu dimintai pertanggung jawaban atas ketidak hadirannya, ia berkata dengan entengnya, “ Kan saya bilang Insya Allah”. Penggunaan kata Insya Allah seperti ini sangat salah dan bahkan bisa diberikan hukuman dari Allah SWT. Karena ia telah dengan sengaja mempermainkan sebuah perkataan yang mengikut sertakan Allah di dalamnya.
Cerita berikut mungkin menarik untuk dicermati. Dikisahkan seseorang menempa pakaian safari ke tukang jahit, lalu sang tukang jahit berkata, “Insya Allah, pakaian ini selesai dijahit tiga minggu ke depan”. Selang tiga minggu, sepemilik baju datang untuk mengambil tempahan pakaiannya, dengan yakin ia bertanya, “Bagaimana pak, apakah tempahan saya sudah selesai dikerjakan ?” Sedikit tersenyum tukang jahit menjawab, “ Maaf pak, seharusnya sudah selesai, tapi ada sedikit kendala, Insya Allah akan selesai minggu depan”.
Seminggu kemudian, sesuai janji, sipemilik pakaian datang lagi, tapi kali inipun ia kembali kecewa dengan jawaban tukang jahit yang mengatakan bahwa jahitan pakaian tersebut belum selesai dikerjakan karena sesuatu hal, dan kembali pula ia bernjanji akan menyelesaikannya dalam tiga hari ke depan. Kali inipun ia masih memakai kata Insya Allah, untuk meyakinkan pelanggannya yang sudah kelihatan kesal itu.Tapi kali ini sipemilik pakaian sudah tidak dapat menahan sabarnya, dengan sedikit jengkel dia berkata, “ Begini saja pak, kalau pakai Insya Allah kapan selesainya, dan kalau tidak pakai Insya Allah kapan pula selesainya !”  
Pada akhirnya, ketika seseorang mengucapkan Insya Allah ketika diminta melakukan sesuatu pekerjaan ataupun janji mengadakan pertemuan, tidak jarang ia diminta menyebutkan apakah Insya Allah yang ia ucapkan itu Insya Allah berat, sedang atau ringan. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada pengklasifikasian kata Insya Allah tersebut. Sampai-sampai ada anekdot yang mengatakan bahwa kalau kata Insya Allah itu diucapkan oleh orang Arab, maka itu berarti sembilan puluh sembilan persen ia akan memenuhi janjinya, tetapi kalau yang mengucapkannya orang Indonesia, maka sembilan puluh sembilan persen ia tidak akan memenuhi janjinya itu. Na’udzu billaahi min dzaalik.
Adapun pengertian ikhlas adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Dalam hal melakukan perintah Allah ikhlas berarti, melakukan suatu perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Dalam ilmu tasawuf disebutkan, bahwa ikhlas menjadi syarat sahnya ibadah, sedangkan ahli fikih tidak berpendapat demikian. Dalam kajian tasawuf disebutkan bahwa ikhlas merupakan salah satu bagian dari makam Atau station yang harus dilalui seorang sufi untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika amal merupakan badan jasmani, maka ikhlas adalah roh ( jiwa ) nya. Ikhlas biasanya berhubungan dengan niat seseorang.
Beberapa ayat yang dijadikan dasar niat ikhlas antara lain, surat an-Nisa, ayat 146, al-Anfal ayat 29, az-Zumar ayat 2 dan 11, al-Baqarah ayat 139, Luqman ayat 32 dan al-Bayyinah ayat 5. Pada surah al-Bayyinah Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus...”. Dalam ayat ini perintah ikhlas dikemukakan secara tegas oleh Allah SWT. Bila seseoang melakukan sesuatu terutama yang berhubungan dengan ibadah, tidak semata-mata karena Allah, tetapi ada unsur lain yang ikut terlibat seperti riya’ dan alasan lainnya, maka bukan saja amalnya itu tidak diterima Allah tetapi ia juga akan bisa sampai ketingkatan syirik, karena menyandarkan amalnya kepada Allah dan selain Allah, artinya ia menduakan Allah SWT.
Demikianpun dalam sabda Rasulullah Muhammad SAW, beliau tegas menyatakan, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Sungguh bagi seseorang ( yang melakukan perbuatan ) menurut apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia ia akan memperolehnya atau kepada perempuan yang akan ia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia niatkan itu” ( HR. Bukhari ).
Sabda tersebut disampaikan Rasulullah pada saat melakukan hijrah bersama dengan para sahabat menuju Madinah. Beliau mengetahui bahwa dalam rombongan terdapat beberapa orang yang berhijrah bukan murni semata-mata untuk menyelamatkan dan mengembangkan agama Allah ( Islam ) tetapi dikarenakan sesuatu. Salah satunya adalah seseoang yang ikut berhijrah hanya karena kekasihnya ikut dalam rombongan tersebut.  Menurut sejarah, ucapan Rasulullah itu menjadi kenyataan; orang tersebut berhasil menikahi perempuan yang ia cintai namun ke Islamannya menjadi luntur.
Dalam pembicaraan keseharian, ikhlas biasa juga dikaitkan dengan kerelaan dalam berinfak, bersedekah. Misal seseorang berkata, “Lebih baik berinfak sedikit, yang penting ikhlas, daripada berinfak banyak tetapi tidak ikhlas”. Perkataan seperti ini adalah suatu yang sangat keliru. Bila hal itu kita benarkan, maka bila urusannya masalah ibadah penting seperti shalat, puasa dan lainnya, maka lebih baik shalat sedikit yang penting ikhlas. Ini sungguh suatu penyelewengan kepada makna ikhlas itu sendiri. Karena banyaknya pemikiran seperti inilah mungkin, kemudian muncul sebuah pertanyaan, “ Mengapa pembangunan masjid selalu selesainya lama, bahkan bertahun-tahun?” Jawabnya adalah, karena ummat di sekitar masjid tersebut berlomba ikhlas dalam menyumbang”.
Karenanya maka, pernyataannya harus diganti dengan kalimat, “Berinfak banyak tetapi ikhlas, itu jauh lebih baik daripada berinfak sedikit walaupun ikhlas”. Bila ummat memahami dan mengamalkan pernyataan yang kedua ini, Insya Allah banyak persoalan keummatan yang dapat dilaksanakan, apakah itu masalah kemiskinan, dakwah, pembangunan masjid, rumah sakit Islam ataupun masalah pendidikan anak-anak terlantar dan lain-lain.
Lagi pula, sesuatu yang sangat naif, apabila kita mempunyai harta yang banyak, lalu bersedekah, berinfak sedikit, kemudian dengan enteng kita berkata, “Saya Ikhlas”. Ikhlas baru boleh diutarakan apabila dalam mengeluarkan infak ataupn sedekah, ada sesuatu yang terasa hilang dari sebagian harta tersebut. Bila kita mempunyai uang satu juta rupiah misalnya, lalu kita berinfak Cuma Rp 2500,- ( dua ribu lima ratus rupiah ), maka sebaiknya tidak usahlah mengatakan, “Biar sedikit yang penting saya ikhlas”.
Maka berbahagialah mereka yang hatinya ikhlas, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, “ Sungguh berbahagialah seseorang yang ikhlas hatinya untuk beriman, menjadikan hatinya pasrah, lisannya benar, jiwanya tenang, menjadikan telinganya mendengar, matanya melihat. Telinga merupakan corong, mata menjadi pengakuan kepada apa yang telah dipelihara hati” ( HR. Imam Ahmad ).
Demikianlah, bahwa dua kata yang sebenarnya sangat suci; Insya Allah dan Ikhlas, tidak jarang disalah gunakan/ diselewengkan/ dikambing hitamkan oleh ummat Islam itu sendiri. Mereka menjadikan kata Insya Allah dan ikhlas ibarat sebuah perkataan mainan dan olok-olok. Pada akhirnya, ketika seseorang mengatakan Insya Allah ketika berjanji atau ingin melakukan sesuatu, maka image dan pemikiran yang muncul kemudian adalah , apabila orang itu tidak jadi melakukannya, maklumi saja karena memang ia hanya berkata Insya Allah. Sekali lagi, Na’udzu billaahi min dzaalik.

Lebih Dekat Dengan Ibadah

LEBIH DEKAT DENGAN IBADAH
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri
Firman Allah SWT, “Dan tidak Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah / menyembah-Ku” ( QS. Az-Zaariyat : 56 ). Ini adalah landasan dasar tentang tujuan penciptaan manusia ke muka bumi ini. Tulisan kali ini ingin membawa kita kepada pengenalan lebih dekat tentang ibadah.
Secara bahasa, ibadah berarti ta’at, tunduk, menurut, mengikut dan do’a. Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Qur-an, antara lain firman Allah SWT , “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” ( QS. Yasin : 60 ). Ibadah dari segi pelaksanaannya dapat dibagi dalam tiga bentuk.  Pertama, ibadah jasmaniah rohiah          (rohaniah) , yaitu perpaduan ibadah jasmani dan rohani, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah rohiah dan maliah, yaitu perpaduan antara ibadah rohani dan harta, seperti zakat. Ketiga, ibadah jasmaniah, rohiah dan maliah sekaligus, seperti melaksanakan haji. Adapun ibadah ditinjau dari segi kepentingannya ada dua, yaitu kepentingan fardi ( perorangan ) seperti shalat dan puasa, serta kepentingan ijtima’i ( masyarakat ), seperti zakat dan haji.
Sementara ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dapat dikategorikan kepada lima macam, (1) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan ( ucapan lidah ), seperti berzikir, berdo’a, membaca Al-Qur-an. (2) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad dan tajhij al janajah   ( pengurusan jenajah ). (3) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya seperti shalat, puasa, zakat dan haji.  (4) Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf dan ihram dan (5) Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.
Hakikat ibadah adalah menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat az-Zaariyat ayat 56. Dengan demikian, nyatalah bahwa manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk hidup menempati dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini dinyatakan pula oleh Allah dalam firman-Nya, “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agama dengan lurus” ( QS. Al-Bayyinah : 5 ). Dari ayat tersebut, dapat diartikan bahwa manusia diciptakan bukan sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung jawab, akan tetapi penciptaannya melebihi penciptaan makhluk lainnya.
Pada hakikatnya, manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada Allah. Karena itu tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman, “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa” ( QS.al-Baqarah : 21 ). Pada prinsipnya, ibadah merupakan sari ajaran Islam, yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan prilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada Allah SWT. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak dan berakibat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah atau tidaknya manusia, tidaklah mengurangi keagungan, kekuasaan dan kebesaran Allah SWT sebagai Rabb ( pencipta, penguasa, pemelihara, pemilik ) alam semesta ini.
Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syari’at tentang kewajiban pengabdian kepada Allah SWT.
Dalam syari’at Islam diungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua bentuk aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah SWT, sebab Ia adalah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia serta alam. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah SWT tidak membebankan kepada manusia kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri.  Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun anjuran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-larangan-Nya; jika manusia mematuhinya, maka semuanya akan bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT, bernilai ibadah.
Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundanag campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas ( sebab akibat ). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari yang Maha Kuasa. Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, karena Dia lah yang telah ‘ammah.menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
Macam-Macam Ibadah
Secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam; ibadah khassah dan ibadah ‘ammah.  Ibadah khassah ( khusus ) atau disebut juga ibadah mahdah ( ibadah yang ketentuannya pasti ), yakni ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji. Sedangkan ibadah ‘ammah ( umum ), adalah semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan, bekerja mencari nafkah dll. Dalam hal ini, niat menjadi sesuatu yang sangat penting. Bila seseorang bekerja dengan niat agar dapat menafkahi keluarga dan dapat mendekatkan diri kepada Allah , maka ia akan bernilai ibadah . Seseorang yang makan dengan niat untuk beribadah dengan seseorang yang makan dengan niat agar kuat dan sehat, tentunya berbeda dalam niatnya.
Dalam ibadah ‘ammah, adanya usaha untuk mendapatkan suatu kebajikan berkaitan erat dengan sikap dan prilaku seseorang dalam kehidupannya. Sikap dan prilaku itu ada hubungannya dengan tujuan hidup manusia itu sendiri. Bila manusia sadar akan dirinya, akan fungsinya dan sadar darimana ia datang dan akan kemana ia pulang, tentu dia akan mengikuti rumusan tujuan hidup yang berasal dari penciptanya.Dia tidak akan keluar dari konsepsi yang telah Allah augerahkan kepadanya. Semua fasilitas yang ada di muka bumi akan dijadikannya menjadi sesuatu yang dapat mendekatkannya dengan Allah SWT.
Manusia yang mampu menjadikan semua aktivitas dirinya untuk mendapatkan ridha Allah SWT berarti melakukan suatu amal ibadah yang amat besar artinya dalam mencapai tujuan hidup yang telah ditetapkan Allah SWT.  Yang dimaksud dengan segala aktivitas di sini ialah semua bentuk usaha yang dilakukannya, seperti bertani, berdagang, berorganisasi, buruh, sebagai pengusaha, da’i, belajar, mengajar, menarik beca dan lain sebagainya. Semuanya akan menjadi ibdah ‘ammah bila dilandasi dengan niat mencari keridhaan Allah SWT dan dilaksanakannya juga mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh – Nya.

  

Muroqobah

M U R O Q O B A H
Oleh : Drs. Ahmad Samsuri.

Muroqobah ialah selalu merasa diawasi dan disertai oleh Allah SWT. Allah telah mengingatkan bahwa sesungguhnya Dia itu cahaya di atas cahaya dan cahayaNya bisa menembus tembok setebal apapun dan terbuat dari bahan apapun. Demikianpun Ia mengingatkan bahwa Sesungguhnya Tuhanmu amat sangat Maha Peneliti ( QS.Al-Fajr).  Lalu Allah juga mengingatkan bahwa, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya ( manusia ) melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” ( QS.Qaf: 18 ). Dua malaikat yanga dimaksud adalah Raqib dan ‘Atid.
Muroqobah merupakan salah satu akhlak Islam yang segarusnya dimiliki oleh setiap muslim. Karena dengan keyakinan yang kuat bahwa kita senantiasa berada dalam pengawasan Allah SWT, akan mendorong kita untuk senantiasa giat dan gigih melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Muroqobah akan melahirkan sikap yang adil dan jujur . Kejujuran dan keadilan dalam hidup adalah modal utama dalam mewujudkan keselamatan baik di dunia utamanya di akhirat.  Berbuat adil dan jujur juga merupakan akhlak Islam yanag bahkan diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar ( dengan efektif dan konsisten ) menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap diri sendiri ataupun ibu bapak dan kaum kerabat” ( QS. An-Nisa’ : 135 ).
Dalam pengertian yang lain, muroqobah dapat diartikan kewaspadaan atau pengawasan, yakni teliti dan hati-hati serta bersikap siaga menghadapi segala sesuatu yang menakutkan dan membahayakan, yang sewaktu-waktu menimpa diri. Kewaspadaan memang perlu  dalam kehidupan, karena shiratal mustaqim ( jalan lurus ) yang selalu kita mohon bimbingan Allah untuk dapat melaluinya, memang harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan waspada. Bila tidak hati-hati dan waspada, maka sangat mungkin kita tergelincir di atasnya dan jatuh ke lembah yang hina.
Lebih dari itu, setiap orang diminta untuk selalu waspada dalam setiap setiap  langkah dan aktivitasnya  ketika mengarungi hidup dan kehidupan ini. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabda beliau, “Sesungguhnya dunia ini sangat manis dan indah ( menarik perhatian ) dan Allah menyerahkan kepada kamu untuk dilihat bagaimana kamu berbuat, karena itu berhati-hatilah ( waspadalah ) dan berhati-hatilah dalam dunia dan berhati-hatilah dari wanita “ ( HR.Muslim ). Dalam tulisan singkat ini akan diuraikan sedikitnya empat hal yang perlu diwaspadai.
Pertama, mewaspadai kemaksiatan.  Kemaksiatan sering dilakukan orang dalam hidupnya baik disengaja maupun karena terlena. Apapun alasannya, kemaksiatan tetaplah kemaksiatan.  Sebagai seorang muslim, kita dianjurkan untuk terus mewaspadai kemaksiatan. Dalam sebuah haduts, Rasulullah SAW bersabda, “ Peliharalah  ( perintah ) Allah. Maka Allah akan memeliharamu, dan peliharalah  ( larangan ) Allah, niscaya kamu dapati Allah selalu di hadapanmu “ ( HR. Attirmidzi ).
Hadits ini dengan tegas memerintahkan kepada kita ummat Islam untuk waspada diri dari segala kemaksiatan dengan cara memelihara amanah dan perintah Allah, yakni mengikuti segala perintah-Nya dan semaksimal mungkin menjauhi segala larangan-Nya. Dalam hal mewaspadai diri dari berbagai bentuk maksiat, kita harus merasa takut kalau-kalau Allah menurunkan murka-Nya, menghentikan bantuan dan pertolongan-Nya, menyetop rezeki atau mungkin menghentikan pemeliharaan-Nya kepada kita.  Selain itu, waspada dari maksiat  juga dapat dilakukan dengan cara jangan sekali-kali berniat atau merencanakan perbautan maksiat, menjauhi tempat-tempat maksiat dan menghindar dari berteman dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat, sebaliknya carilah teman yang sholeh-sholeha. Orang bijak berkata, “ Bila seseorang berteman dengan orang jahat, sedikit demi sedikit kejahatan temannya itu akan ia kerjakan tanpa ia sadari, bahkan ia bisa lebih jahat dari temannya itu, dan siapa yang membiasakan berteman dengan orang-orang yang baik, sedikit demi sedikit kebaikan temannya itu akan ia teladani dan boleh jadi ia akan lebih baik dari temannya itu”. Selanjutnya, agar diri terhindar dari perbuatan maksiat, sebaiknya memperbanyak zikrullah, sebab seseorang yang terus menerus ingat kepada Allah, ia tidak akan melakukan kemaksiatan.
Kedua, mewaspadai keluarga. Benar bahwa keluarga adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan teman, istri, anak dan keluarga. Tapi tidak jarang keluarga dan anak seringkali menyebabkan manusia lupa dan lalai, bahkan terdorong untuk melakukan hal-hal yang terlarang dalama agama.  Kadang karena kecintaan kepada keluarga, tidak jarang membuat seseorang nekat melakukan korupsi, manipulasi, kolusi dan lain sebagainya. Berlindung di balik rasa cinta yang mendalam kepada keluarga, kadang seseorang merelakan dirinya melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama.
Dalam hal kewaspadaan terhadap anak dan keluarga, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguh di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terdahap mereka “ ( QS. 64 : 14 ).  Yang dimaksud musuh dalam ayat ini, bahwa istri atau anak kadang dapat menjerumuskan suami atau ayahnya kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam agama.
Ketiga, waspada dari mengikuti hawa nafsu.  Nafsu merupakan elemen dari rohaniah manusia yang seringkali menyeret manusia melakukan perbuatan yang tidak baik dan meninggalkan kebenaran, baik itu kebenaran yang datang dari Allah ataupun kebenaran yang disepakati oleh manusia. Nafsu yang harus diwaspadai di antaranya adalah nafsu birahi/ seks, nafsu amarah, nafsu serakah, tamak dan lainnya. Waspada dan berhati-hati dari mengikutkan ahwa nafsu, berarti menjauhkan diri dari neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Neraka diliputi dengan syahwat hawa nafsu dan syurga diliputi dengan kesukaran dan keberatan”  (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa syurga dan neraka tergantung atau ditentukan oleh pengendalian hawa nafsu. Mengendalikan hawa nafsu sesungguhnya merupakan pekerjaan yang sulit dan berat. Namun bila seseorang senantiasa dalam keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasinya dan meyakini bahwa menurutkan nafsu hanya akan memberikan kebahagiaan sesaat,  maka mengendalikan nafsu bukanlah pekerjaan yang sulit.
Orang-orang yang mampu mengendalikan dan mewaspadai hawa nafsunya, berarti ia telah mencari keridhaan Allah dan menuju kepada keberuntungan dan kebahagiaan abadi yaitu syurga yang dijanjikan Allah SWT. Firman Allah, “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar  beserta orang-orang yang berbuat baik “ ( QS. 29 : 69
Di jaman seperti sekarang ini, adalah sangat penting bagi kita untuk senantiasa mengendalikan hawa nafsu, hal ini demi terhindarnya diri kita dari berbagai godaan duniawi yang sangat mempesona. Apakah itu godaan material, wanita-wanita cantik, barang-barang berharga seperti emas, intan, berlian, barang mewah seperti mobil, rumah mewah, pangkat jabatan seperti jabatan walikota, gubernur, atau kehidupan kota yang gemerlap dengan segala fasilitas kemaksiatan yang gampang diakses. Jika nafsu tidak dikendalikan, maka akan terjadilah suatu upaya yang membabi buta, menghalalkan segala cara demi menuruti keinginan hawa nafsu Hukum Allah di langgar, larangan Allah di “tabrak”, perintah Allah diabaikan dan disepelekan. Lalu kemudian mereka membuat hukum sendiri. Kalaupun mereka mengambil hukum dari Al-Qur-an, mereka mengambilnya setengah-setengah; bila menguntungkan bagi mereka,diambil, tetapi bila merugikan mereka abaikan. Poligami mereka terima dengan tangan terbuka, tetapi hukum potong tangan bagi pelaku korupsi, mereka tolak mentah-mentah dengan alasan akan abanyak orang yang tangannya buntung/puntung.
Mewaspadai dan mengendalikan hawa nafsu sesungguhnya dapat dilakukan dengan cara memperbanyak zikrullah, membiasakan diri pandai mensyukuri nikmat Allah sekecil apapun nikmat yang kita terima, sebab sebenarnya nikmat yang kita terima itu sangat besar, karena kesalahan dan dosa yang kita lakukan ternyata jauh lebih besar. Kemudian mempertebal dan memelihara sifat qona’ah / menerima dengan ikhlas dan rela pemberian Allah SWT. Memelihara penglihatan, mulut, tangan, kaki dan terutamanya hati, serta menyadari bahwa sesungguhnya hanya kerugian yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menurutkan hawa nafsunya.
Keempat waspada terhadap orang kafir dan munafik. Golongan kafir dan mnafik merupakan musuh utama ummat Islam. Namun bila harus menomor satukan, maka sesungguhnya musuh ummat yang paling besar adalah golongan munafik, sebab ia bisa saja berasal dari ummat Islam itu sendiri. Kalau golongan kafir, telah jelas statusnya, tetapi golongan munafik identitas mereka kadang tersamar dengan penampilannya yang sangat menarik. Dalam hidup kemunafikan yang ada adalah kepalsuan, topeng penipuan. Meskipun golongan kafir selalu dan akan senantiasa memusuhi ummat Islam, tetapi akibat yang disebabkan permusuhan golongan munafik jauh lebih besar. Hal ini disebabkan karena orang-orang munafik menyembunyikan permusuhannya terhadap Islam. Mereka ibarat api dalam sekam, ibarat musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Mereka ( orang-orang munafik ) bermuka manis dan berkata indah di hadapan ummat Islam, seakan-akan mereka itu merupakan pemeluk Islam paling taat, dan pembela Islam sejati, tetapi ternyata ucapan mereka ternyata adalah tipuan dan pada saat tepat mereka  menikam dari belakang. 
Dalam sejarah panjang perjalanan Islam, kelompok munafik inilah yang paling sulit dideteksi oleh Rasulullah. Bahkan keluarga Rasul sendiri pernah menjadi korban dari orang-orang munafik itu. Karenanya Allah sangat murka dengan golongan ini, Allah bahkan menegaskan bahwa tempat orang-orang munafik adalah keraknya neraka ( Neraka paling bawah dan panas ). Karenanya, sebagai ummat Islam, hendaklah kita meningkatkan kewaspadaan terhadap kedua golongan ini ; kafir dan munafik. Menurut para ‘ulama tafsir mengapa surat Attaubah tidak didahului dengan Bismillaahirrrahmaanirraahiim, itu adalah karena dalam surat itu Allah menceritakan tentang sifat dan sikap orang-orang munafik dan Allah sangat benci dengan mereka, sehingga tidak pantas untuk menceritakan mengenai mereka didahului dengan perkataan yang baik.
Mewaspadai golongan kafir dan munafik, adalah dengan merapatkan shaf ( barisan ), memperkokoh persaudaraan sesama Islam, memperkuat persatuan dan kesatuan, mempertebal keimanan kepada Allah SWT, berhati-hati dalam menjalin kerja sama atau kesepakatan dengan kedua golongan tersebut. Allah mengingatkan kita, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” ( QS. 3 :103 ).

Muroqobah

Rabu, 18 Agustus 2010

Peresmian TK Asyyifa dan Silaturrahmi Ramadhan

Harian Waspada, Jumat 6 Agustus 2010

Menyambut bulan Ramadhan 1431 H, TK Assyifa Jalan Bajak II H Gg. Coklat I Marindal melaksanakan peresmian gedung sekaligus silaturrahmi menyambut Ramadhan bersama masyarakat dan wali murid di sekolahnya, Rabu (4/8). 

Acara ditandai dengan pembacaan ayat suci Al Quran oleh Qori Nasional Syaiful Fai, SAg dan tausyiah dibawakan Al Ustadz Drs. Ahmad Syamsuri Matondang serta ditutup dengan doa oleh Kadiman, SAg berlangsung khitmad. 

Menurut Kepala TK Assyifa Rahmi Hartati, AMaPd didampingi Dra Hj. Farida Hanum Nasution mengharapkan peresmian ini menjadi titik awal bangkitnya kualitas dan mutu pendidikan Taman Kanak-Kanak Asyyifa semakin baik serta meningkat di masa mendatang. Kemudian melalui peresmian ini kita coba menjalin silaturrahmi bersama orangtua siswa dan tokoh masyarakat di sekitar sekolah dalam mengangkat mutu pendidikan di lingkungan ini dan menyambut bulan Suci Ramadhan, agar pada masa mendatang kerjasama yang telah dibina dapat terus berkesinambungan. 

Sementara Al Ustadz Drs Ahmad Syamsuri dalam tausyiahnya mengemukakan ada dua kontras dalam bulan Ramadhan, satu sisi ada orang yang dapat keringanan untuk tidak puasa seperti uzur, hamil tua, pekerja keras, tapi mereka tetap puasa. Sisi lain ada yang muda, gagah, kekar, sehat tapi tidak puasa. Kenapa? Tergantung hidayah dalam hatinya. Mari perbaiki kualitas puasa dari sekadar mengharap pahala ke tingkat Ridho Allah SWT. Tahun depan akan kembali lagi, tapi belum pasti kita masih hidup saat itu.

Sumber: http://issuu.com/waspada/docs/waspada__jumat_6_agustus_2010

Gelang dan Gelar Haji

Oleh: Drs. Ahmad Syamsuri Matondang

Tulisan ini dimuat di Harian Waspada, Jum'at, 08 Januari 2010

Alhamdulillah, para jamaah haji, duyufurrahmaan yang telah berjuang dengan segenap tenaga dan apapun yang mereka miliki telah kembali ke tanah air, setelah berjuang selama 40 hari di Makkah dan Madinah. Tentunya doa dan harapan kita, semoga yang kembali ke tanah air mendapat rahmat dengan haji mabrur, dan semoga mereka yang “kembali” kepada Allah dalam perjuangan jihad besar itu, diampunkan Allah kesalahan dan dosa mereka berkat niat hajinya dan dimasukkan Allah ke dalam syurga-Nya.

Tulisan berikut ini akan memperbincangkan sedikit mengenai gelang dan gelar haji, dua hal yang selalu bersinggungan dengan para jama’ah yang baru kembali dari tanah suci. Semoga tulisan ini tidak menyinggung perasaan siapapun, jadi penulis memohon maaf atas kemungkinan kelemahan mendasar dari tulisan ini.

Haji adalah sejumlah simbol yang terbentuk dari pelbagai amalan, sebuah symbol penyerahan total tanpa syarat seorang manusia (baca: hamba) kepada Allah SWT. Haji merupakan simbol kesinambungan umat Islam dengan “bapak” nya, Ibrahim AS , karena kita menghidupkan syiarnya dan bertawaf di rumah Allah yang dibangunnya.

Haji menjadi simbol persatuan umat Islam,  tanpa memandang ras, warna kulit dan kebangsaan. Karena dasar persatuan kaum muslimin adalah aqidah, agama dan syari’at Islam. Jadi haji merupakan manifestasi prinsip-prinsip Islam; ukhuwah Islamiyah, di mana manusia merasakan secara nyata bahwa ia adalah saudara bagi setiap muslim di dunia.

Manifestasi persamaan antar berbagai bangsa dan suku serta warna kulit dan bahasa yang berbeda. Haji adalah manifestasi firman Allah, “Dan Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS. Al- Hujarat 13). Di dalam pelaksanaan haji terwujud ta’aruf akbar antar bangsa-bangsa di dunia.

Sehingga ada yang menyebut tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa haji merupakan manifestasi kesetiaan seluruh kaum muslimin terhadap satu kesatuan politik, demikian Sa’id Hawwa dalam al-Islam. Mengutip Emha Ainun Nadjib, paling tidak terdapat tiga dimensi esensial kehidupan manusia menyatu dalam pelaksanaan ibadah haji; kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Haji adalah – atau kita sebut semestinya- puncak totalitas penyatuan  antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi (tepatnya Makkah dan Madinah), walaupun memang pelaksanaan ibadah haji adalah sebuah ibadah yang diwarnai dengan kemewahan, dalam seluruh artinya

Utamanya bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Arab Saudi , haji adalah kemewahan ekonomi.
Namun tidak semua yang berangkat ke tanah suci adalah mereka yang beruang, sebab tidak sedikit yang berangkat justru karena di berangkatkan. Haji juga lebih dari sekedar “romantisme pengembaraan kultural”. Terlebih-lebih lagi haji bukan aksesoris keperluan politis, status dan kebanggan sosial, yang dalam tuntutan pelaksanaan peribadatan haji halhal itu justru harus ditanggalkan demi hakikat dan otentisitas haji itu sendiri.

Tidak sedikit memang, di antara yang berangkat haji, menjadikan gelar haji sebagai alat menaikkan “peci” reputasinya di hadapan masyarakat, utamanya ketika dicalonkan (atau lebih tepatnya mencalonkan) diri ingin menjadi “seseorang”.

Karena haji adalah simbol kepasrahan total manusia tanpa syarat kepada Allah; Ia pasrah apapun kemungkinan yang akan dialaminya selama sembilan jam lebih perjalanan pergi dan pulang di atas awan. Ia pasrah kalaupun kemungkinan cuaca Arab Saudi tidak bersahabat dengannya dan mengakibatkan dia jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.

Seseorang yang telah pasrah total tanpa syarat seperti itu, maka dalam melaksanakan perintah-Nya tidak lagi melihat hikmah dan ma’nanya termasuk diantaranya, ia tidak akan mempedulikan apakah kelak ketika sekembalinya dari tanah suci, jiran, tetangga, keluarga, kerabat, kolega, ummat, jama’ah, akan memanggilnya dengan sebutan pak haji, buk haji.

Ia akan sadar bahwa Rasulullah Muhammad SAW, juga pernah melaksanakan haji, tapi belum pernah ia kita panggil dengan sebutan Haji Muhammad SAW. Demikianpun dengan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Belum sekalipun ingat penulis, kita memakaikan gelar Haji di depan nama-nama mereka.

Kita juga belum pernah mendengar ada orang yang menyebut ummul mukminin, Hajjah Aisyah Radiallahu Anha, atau Hajjah Fatimah az-Zahrah. Lagi pula sepertinya status haji masih kalah bersaing dengan gelar kiai , padahal yang satu produk agama sementara yang lainnya produk budaya.Tapi memang harus kita sadari, bahwa kalau seseorang disebut pak haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke tanah suci.

Tapi kalau seseorang disebut Kiai, ada beberapa dimensi yang dikandungnya; kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas- kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin tak tersosialisasikan ketika seseorang disebut haji.

Demikian juga dengan gelang yang sepanjang berada di tanah suci, “wajib” harus dipakai. Sesampai di tanah air, ia tanggalkan. Ia sadar betul bahwa tidak jarang gelang itu justru menimbulkan ria dalam diri para haji. Kalaupun kemudian ia memakainya sesekali, adalah karena ia ingin mengingatkan bahwa dirinya telah berangkat haji dan beberapa kali terselamatkan dari sesat di Arab Saudi berkat bantuan dari gelang yang ada di tangannya itu.

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79937:gelang-dan-gelar-haji&catid=33&Itemid=98

Suasana Ceria Sambut HGN Di SMA Dharmawangsa

Harian Waspada, Minggu 6 Desember 2009

Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di SMA Dharmawangsa tahun ini terasa lebih ceria dan meriah. Seluruh siswa/i dan guru, Senin (31/ 11) selain melaksanakan upacara bendera oleh Paskibra juga menggelar berbagai perlombaan bagi guru, pemotongan kue dan kreativitas seni siswa. Dalam pidato Mendiknas Prof. Dr. Ir.Mohammad Nuh, DEA yang dibacakan Wakasek SMA Dharmawangsa Drs. Ahmad Syamsuri selaku pembina upacara menyampaikan, guru menjadi faktor penentu utama proses pendidikan dan pembelajaran. "Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Hanya dengan sentuhan guru profesional yang bermartabat, terlindungi dan sejahtera, anak-anak bangsa akan menerima proses pembelajaran yang mendidik dan bermutu," katanya. Dikatakan Mendiknas, prestasi, keteladanan, dan kepeloporan para guru yang telah ditunjukannya semasa revolusi hingga sekarang adalah semangat dan tradisi perjuangan yang perlu terus diseleraskan, seiring dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. "Untuk menganisipasi hal itu, tidak berlebihan kiranya harapan masa depan bangsa Indonesia dipertaruhkan kepada mereka yang berprofesi sebagai guru," sebutnya. Pemerintah dan penyelenggara pendidikan, terang Mendiknas, tidak pernah berhenti berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan kesejahteraan guru. Secara bertahap dan berkesinambungan pihak-pihak yang berkepentingan ini akan melaksanakan peningkatan kualifikasi dan melakukan sertifikasi profesi bagi guru sebagai bagian dari standarisasi kompetensi guru secara nasional. Pada kesempatan itu, Ahmad Syamsuri menyampikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas prestasi, dedikasi, komitmen, keikhlasan dan pengabdian para guru kepada bangsa dan negara. Usai upacara, pengurus OSIS dan siswa SMA Dharmawangsa memberikan cenderamata, berupa bunga dan bingkisan kepada para guru mereka serta pemotongan kue tar yang dilakukan Wakasek Drs. Ahmad Syamsuri Matondang yang selanjutnya menyerahkannya kepada guru terlama R Sitorus dan termuda Lailan Hafiza. Selain itu peringatan HUT Guru ini juga dimeriahkan dengan per-lombaan voli antar guru dan siswa, pembacaan puisi yang dibacakan dalam tiga bahasa (Inggris, Jepang dan Indonesia) serta pementasan musik keyboard dari guru-guru dan band siswa serta tari-tarian.

Sumber: http://issuu.com/waspada/docs/waspada__minggu_6_desember_2009

Sambut Ramadhan, KB Dharmawangsa Rekreasi Bersama Di Berastagi

Harian Waspada, Kamis 6 Agustus 2009 

Menyambut bulan suci Ramadhan 1430 H, sebanyak 130 keluarga besar (KB) Yayasan Pendidikan Dharmawangsa melaksanakan rekreasi bersama di Bukit Kubu, Berastagi, Sabtu-Minggu (1-2/8). Demikian Ketua Panitia Salahuddin Has, SH, MA didampingi Sekretarisnya Dra Farida Hanum, Rabu (5/8). 

Menurutnya, rekreasi bersama ini bertujuan untuk menjalin ukhuwah Islamiyah seluruh keluarga besar Dharmawangsa, baik itu pihak rektorat, dosen, guruguru SMA, karyawan dan seluruh fungsionaris di Dharmawangsa. “Ke depan kita harapkan dengan rekreasi ini terjalin hubungan yang harmonis antara semua elemen yang berada di dalam kampus Yayasan Pendidikan Dharmawangsa, apalagi bulan suci Ramadhan akan segera tiba,” kata Salahuddin yang juga PR III Universitas Dharmawangsa ini. 

Ditambahkan Farida Hanum, rekreasi ini dilaksanakan untuk memulihkan kembali kepenatan yang dialami seluruh elemen di Yayasan Pendidikan Dharmawangsa yang selama ini beraktivitas penuh di dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Dalam rekreasi itu selain menjalin keakraban di antara civitas akademika juga diisi dengan berbagai perlombaan di antaranya, bola basket, arobik, melukis wajah dan lucky draw, sebut Farida. 

Turut hadir dalam kesempatan itu Rektor Universitas Dharmawangsa Kusbianto, SH. MHum, PR I Prof Lahmuddin Lubis, PR II Muzzakir, SE, Prof. Dr. RM. H. Subanindyo H, SH Prof. Suhedi, SH, M.Hum, Kepala SMA Drs. Sutrisno danWakil Kepsek Drs. Ahmad Syamsuri Matondang.

Sumber: http://www.myplick.com/view/2rIoefwTwmp/Waspada-Nasional-6-Agustus-2009?utm_source=feedburner&utm...

Hampir Seribu Guru di Medan Belum Terima Tunjangan APBN

Medan, Harian Analisa, Jumat, 19 September 2008

Meskipun sudah menandatangani kwitansi dan blanko akan mendapatkan dana tunjangan Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN), namun hampir seribu guru terdiri dari guru honor SD Negeri di Medan, guru SD, SMP dan SMA swasta kecewa. Pasalnya, saat dilihat tidak ada dana mengalir ke rekening mereka.

Hal ini terungkap pada pertemuan silaturahmi antara Lembaga Peduli Pendidikan Indonesia (LPPI) Kota Medan dengan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), di Aula Rektor UMSU, Jalan Kapten Muchtar Basri Medan, Rabu (17/9).

Ketua LPPI Kota Medan, Drs A Rivai Parinduri menyatakan, terlambat dana APBN diterima guru-guru honor SD Negeri di Kota Medan dan guru swasta diduga ada indikasi permainan orang Dinas Pendidikan Kota Medan.

Menurutnya, banyak anggota LPPI yang telah menandatangani kwitansi penerimaan dana bantuan tersebut tapi saat dicek di bank dana tersebut tidak ada.
Rivai juga meminta kepada Dinas Pendidikan Provinsi agar segera menangani permasalahan ini. Jika tidak, LPPI yang memiliki 3000an anggota akan membuat laporan kepada Mendiknas dengan tembusan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menkeu, Gubsu dan pejabat terkait.

Ahmad Siregar, SPdI, guru honor di SD 067248, Medan Marelan yang juga Ketua LPPI Kecamatan Medan Marelan mengakui telah menandatangani blanko pencairan dana APBN di Dinas Pendidikan Medan sebesar Rp1.140.000. Tapi, setelah di cek di bank dana tersebut tidak ada.

Hal senada juga diakui pengurus LPPI Medan lainnya, alasan tidak dikeluarkan dana bantuan APBN karena banyak guru tidak memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang dikeluarkan Depdiknas.

Namun, dia berharap pemerintah mempercepat pengeluaran bagi yang telah mendapatkannya, paling lambat empat hari menjelang lebaran karena sangat membantu bagi guru-guru yang akan merayakan Lebaran.

Sebelumnya, Rivai Parinduri didampingi 11 ketua dari 21 pengurus LPPI se Kota Medan dan Dewan Pembina Adi Munasip SE MM meminta kepada Rektor UMSU H Bahdin Nur Tanjung yang dikenal sebagai tokoh pendidikan di Sumut untuk menjadi salah satu dewan pakar di LPPI Kota Medan.

Prospek yang baik 

Sementara Rektor UMSU H Bahdin Nur Tanjung SE MM mengaku prihatin dengan realita kehidupan guru di Indonesia.

Menurutnya, pemerintah tidak boleh membeda-bedakan antara guru negeri dan swasta. Bahkan dia menegaskan, tunjangan guru dari APBN jika sudah dianggarkan hendaknya cepat dibagikan.

Bahdin mengaku, kehadiran LPPI di Kota Medan menjadi pioner lembaga bagi aktivitas pembelaan terhadap guru. Untuk itu, tujuan LPPI hendaknya selain bisa membantu anggota juga mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan.

“Saya melihat kehadiran LPPI Kota Medan sejak 2003 hingga ke sejumlah daerah kabupaten/kota se Sumut memiliki prospek yang baik untuk kekuatan besar sehingga bisa mempengaruhi kepada setiap pengambilan kebijakan.

Pada kesempatan itu, Bahdin didampingi Kepala Biro Kemahasiswaan Rahmat Kartolo Simanjuntak dan Humas UMSU, Drs Anwar Bakti menyatakan ketersediaannya menjadi dewan pakar LPPI Kota Medan.

Turut hadir, Drs Andi Surbakti, Drs Ahmad Syamsuri Matondang dan 11 Ketua LPPI Kecamatan di Medan.

Secara terpisah Kadis Pendidikan Kota Medan Drs Hasan Basri MM ketika dikonfirmasi melalui telepon selular mengatakan, adanya guru yang tidak mendaftar kemungkinan tidak memenuhi persyaratan.

Untuk itu, Dinas Pendidikan Medan telah mengusulkan awal, jika tidak mendapat dana APBN guru kemudian diusulkan ke bantuan dana APBD.

Ketika ditanya soal guru yang telah menandatangani blanko tapi dana tidak mengalir ke rekening. Hasan mengakui seharusnya guru bersabar dan terus berjuang dengan sering melihat rekeningnya. “Kemungkinan ada kesalahan teknis,” lanjutnya.

Sumber: http://yayasan-kksp.blogspot.com/2008/09/hampir-seribu-guru-di-medan-belum.html

Golongan yang Mendapat Petunjuk

Oleh Drs. Ahmad Syamsuri Matondang

Tulisan ini dimuat di Harian Waspada 10 Agustus 2007

Dalam Al-Qur'an, lebih dari 300 kali perkataan yang berasal dari kata pokok hadaa (petunjuk) disebutkan. Ada yang berbentuk kata benda seperti hidayah, hudan dan muhtadun. Ada yang berbentuk kata kerja seperti yahdi, hadaina, hadakum, ihdina, ihtada dan lain-lain. Berulang-ulangnya kata ini disebutkan dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung pengertian yang amat penting.

Muhammad Abduh mengartikan hidayah sebagai "petunjuk halus yang menyampaikannya pada tujuan". Dalam kaitannya dengan petunjuk Allah atau hidayatullah, beliau mengartikan sebagai petunjuk Allah yang disampaikan kepada makhluk-Nya, yang dengan petunjuk itu, mereka dapat mencapai tujuan penciptaannya. 
Ibarat berjalan dimalam hari yang gelap, cahaya kilat dapat menerangi jalan bagi orang yang melintas, itulah hidayah. Kebalikan dari hidayah adalah dhilalah, kesesatan. 
Sebagaimana hidayah, kata dhilalah juga banyak diulang dalam Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sesat itu jumlahnya juga tidak sedikit, bila dibanding dengan yang mendapat hidayah. Sepanjang perjalanan dunia, hanya ada dua kelompok manusia, yakni yang mendapat petunjuk (hidayah) dan yang sesat (dhilalah).

Macam-macam Hidayah

Semua makhluk Allah di bumi pada dasarnya telah diberi hidayah sesuai dengan tingkatan eksistensinya. Makhluk yang paling rendah tingkatan eksistensinya mendapat hidayah tingkat rendah, begitu seterusnya sampai yang paling tinggi. Ada beberapa macam hidayah yang diberikan Allah kepada makhluknya.

Pertama, hidayah Tabi'i. Dalam hal ini dikemukakan sebuah contoh, seorang bayi belum bisa mengungkapkan keinginan dan kebutuhannya dengan katakata, bahkan ia sendiripun belum mengetahui apa sebenarnya kebutuhannya itu. Akan tetapi agar sibayi tetap dapat mempertahankan kehidupannya, Allah SWT, memberikan kepadanya hidayah tingkatan thabi'i. Dengan itu ia bisa menangis ketika terasa lapar dan haus atau sedang kedinginan dan orang disekitarnya mengerti apa keinginan si bayi dengan tangisnya itu.

Kedua, hidayah hawasi. Hawas berarti alat badani yang mudah berasa atau bergerak (peka) manakala mendapatkan rangsangan dari luar dirinya, seperti rangsangan bau, suara atau cahaya. Pada hewan hidayah ini telah diberikan Allah sejak mereka lahir, secara sempurna. Lain halnya dengan manusia, alat inderawinya berproses dalam waktu yang agak lama. Setelah mengalami beberapa kali percobaan dan serangkaian pengalaman, barulah fungsi-fungsi indera itu bisa aktif. Adapun indera manusia yang paling cepat tumbuh adalah pendengaran kemudian menyusul penglihatan, perasaan dan perasa tubuh.

Ketiga, hidayah Aqli. Jika hidayah thabi'i dan hawasi diberikan kepada makhluk hewani, hidayah  ketiga ini khusus diberikan kepada manusia. Inilah yang membedakan manusia secara tegas dengan makhluk binatang. Melalui hidayah akal ini manusia mengetahui baik dan buruk. Dengan akalnya, manusia mempunyai harga diri, rasa malu dan kesadaran moral lainnya. Jika ada manusia yang tidak mempunyai rasa malu, maka sesungguhnya ia telah kehilangan alat kontrol dirinya berupa hidayah akli. 

Dengan akal pula manusia dapat membetulkan beberapa kesalahan dua hidayah sebelumnya. Misalnya, mata melihat bintang-bintang di langit lebih kecil dibanding dengan bulan. Dengan akalnya manusia kemudian dapat memberi penjelasan bahwa sebenarnya bintang jauh lebih besar dibanding bulan. Mengapa kelihatannya bintang lebih kecil? Adalah karena jaraknya yang lebih jauh dari bumi dibanding bulan.
Keempat, hidayah diini. Hidayah ini menyempurnakan semua hidayah yang disebut sebelumnya. Manusia tidak cukup hanya mengandalkan akalnya saja. Sebab bagaimanapun hebatnya, akal manusia mempunyai keterbatasan. Kebenaran yang dicapai akal hanya bersifat relatif, adapun kebenaran hakiki adalah kebenaran agama. 

Ada beberapa hal dalam agama yang tidak tertangkap oleh akal manusia, seperti keberadaan Allah dan kehidupan pada dimensi di luar kehidupan dunia. Agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki dan hidup sejahtera, maka Allah telah menurunkan petunjuk berupa agama (di'in). Pada setiap manusia, Allah SWT. telah memberikan potensi agama, yang dikenal dengan istilah "hanif" atau "fitrah". Dalam menerima kebenaran ini, manusia terbagi dua, ada yang menerima dengan baik tetapi ada yang menolak. 

Sebenarnya ada satu lagi hidayah yang diberikan Allah  kepada manusia yaitu hidayah taufiqi. Hanya orang-orang tertentu saja dari hamba-hamba Allah yang terpilih untuk menerima hidayah jenis ini. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai kekasih Allah. Taufiq berarti "sesuai atau tepat." Artinya, kehendak manusia bertepatan dengan kehendak Allah, rencana manusia bersesuaian dengan rencana-Nya. Contoh, manusia yang mendapat hidayah taufiq  ini senantiasa berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah, sedang Allah sendiri juga berkehendak agar manusia mendekatkan dirinya kepada-Nya. Maka jadilah shalat (yang merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT), terasa ringan  mengerjakannya. Sebaliknya mereka yang tidak mendapatkan hidayah taufiqi akan merasa berat, malas mengerjakan shalat itu.

Yang mendapat petunjuk

Ada beberapa macam manusia yang mendapatkan petunjuk. Ada dengan cara yang sangat mudah, ada yang berat, bahkan ada yang tidak bisa mendapatkannya.
Allah SWT. Tidak akan pernah memberikan hidayah kepada yang jahat lagi aniaya dan kepada mereka yang memang tidak mau menerimanya. Karena hanya orang-orang baik saja yang mampu memikulnya, yaitu para muhsiniin dan muttaqiin. Allah SWT. berfirman: "Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS. Luqman: 1-2). Ayat yang lain, Allah menegaskan,"Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberikan petunjuk orang-orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus" (QS. Al-Baqarah: 213).

Sebaliknya hidayah tidak diberikan Allah kepada orang yang tidak dikehendakinya, yakni orang yang fasik, dhalim dan kafir, yang hanya mendapatkan dhilalah, kesesatan hidup di dunia dan akhirat. Tentang hal ini, Allah berfirman," Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang fasik" (QS. Al-maaidah: 108), juga firman-Nya, "Dan Allah tidak menunjuki orang-orang yang dahlim" (QS. Ali Imran: 86), "Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir" (QS. At-Taubah: 37). Hidayah Allah tidak diberikan secara gratis. 

Hanya orang yang benar-benar bersunguh-sungguh dan berusaha mendapatkannya yang akan diberikan hidayah itu. Keseriusan dalam mencari hidayah Allah ditunjukkan dengan senantiasa menegakkan shalat, menunaikan zakat dan meyakini akan adanya hari akhirat (QS. Luqman: 4). Adapun orang-orang yang malas-malasan dan enggan, hidayah Allah tidak akan menghampirinya. Allah membuka rahasia hidayah ini dengan firman-Nya,"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam memperoleh hidayahKu, niscaya akan Kami tunjuki jalan-jalanKu" (QS. Al-Ankabuut: 69). 

Jadi orang-orang yang mendapat petunjuk (hidayah) Allah adalah mereka yang senantiasa berbuat baik (muhsinin), tetap taqwa, menegakkan shalat, menunaikan zakat, beriman kepada hari akhirat dengan segala  peristiwa di dalamnya serta bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Said Hawwa mengatakan bahwa orang yang tidak mendapat hidayah Allah seperti bola bulat tanpa lobang, disiram air seberapa banyakpun tidak akan ada air yang masuk ke dalamnya. Karenanya berhati-hatilah,agar hidayah Allah tidak meninggalkan kita. Kata ulama,"Barangsiapa yang ditunjuki Allah, maka tidak siapapun yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang telah disesatkan Allah, siapa pun tidak akan dapat memberikan petunjuk kepadanya. 

Ya Allah, sinari hati kami dengan hidayahMu, sebagaimana matahari menyinari bumi terus menerus, Amiin!

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php/index.php?option=com_content&view=article&id=1623:golongan-yang-mendapat-petunjuk&catid=33:artikel-jumat&Itemid=98

Nilai Keikhlasan

Oleh Drs. Ahmad Syamsuri Matondang 

Tulisan ini dimuat di Harian Waspada, Jum’at, 01 Jul 2005

Dalam sebuah kesempatan Rasulullah SAW. Bersabda, "Berbahagialah orang-orang yang ikhlas dalam amalnya, yaitu mereka yang apabila nampak tidak dikenal dan jika absen (tidak hadir) tidak dicari orang. Mereka adalah pelita petunjuk yang menyapu bersih segala fitnah gelap" (HR. Baihaqi). Rasul menyampaikan hal itu sebab memang banyak sekali di antara para sahabat Nabi yang memiliki kriteria orang-orang mukhlisin itu. Satu di antara mereka adalah Uasy Al-Qarny. Ia memang tidak cukup dikenal oleh sahabat-sahabat yang lain. Tapi Rasulullah berpesan kepada Umar bin Khattab ra. Untuk menjumpainya (Al-Qarny), saat itu Rasul hanya menyebut ciri-cirinya sebagaimana terungkap dalam hadits di atas. 

Setiap musim haji, Umar bin Khattabpun selalu menghadang jama'ah haji asal daerah Al-Qarny. Sampai pada suatu musim haji, Umar berhasil menemukannya. Orang yang serombongan dengannya terheran-heran, kenapa Umar yang saat itu menjabat sebagai khalifah mencari Al-Qarny. Mereka lebih heran lagi saat Umar meminta agar Al-Qarny mendo'akannya. Padahal setahu mereka Al-Qarny bukanlah orang yang cukup dikenal dalam rombongan mereka, masih ada beberapa orang yang jauh lebih dikenal. Ternyata juga Al-Qarny bukanlah orang yang dikenal dekat oleh orang-orang sedaerahnya sendiri. Tetapi mengapa Umar memperlakukannya seperti itu ? Pertanyaan itu yang menggelayut dipikiran mereka. 

Melalui peristiwa itu, barulah orang-orang melek bahwa ternyata Al-Qarny bukanlah orang sembarangan. Ia cukup dikenal Nabi karena kewaliannya. Ia adalah orang yang mendapat julukan "Masyahuurun fiissamaa' wa wajhuulun fiil ardh", terkenal diantara penghuni langit, tapi tidak populer di antara penghuni bumi. Dalam kultur Jawa orang seperti Al-Qarny ini disebut sebagai "rame ing gawe, sepi ing pamrih". Dan dalam istilah Al-Quran disebut "Ikhlas". 

Karenanya maka niat merupakan pangkal semua amal. Sebaik apapun amal seseorang tetapi bila tidak dilandasi dengan niat tulus semata-mata karenas Allah, akan dianggap sepi, tak bernilai. Rasulullah SAW. Bersabda, "Sesungguhnya segala amal itu tergantung
dari motivasi yang mendorongnya, dan bahwa tiap orang akan memperoleh ganjaran sesuai dengan motivasinya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tercatat sebagai hijrah karena Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang berhijrah untuk memperoleh keuntungan duniawi atau untuk menyunting seorang perempuan, maka hijrahnya tercatat sesuai dengan niat dan tujuannya" (HR. Bukhari dan Muslim). 

Allah yang Maha Tahu segala yang tersembunyi dalam dada setiap manusia dan akan memberikan nilai setiap amal sesuai dengan niatnya. Apa yang nampak di luar belum menjadi jaminan diterima atau ditolaknya sebuah amalan. Baik dan buruk itu sangat ditentukan oleh motivasi dasarnya. Allah sangat teliti dalam masalah ini. Kembali Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh dan bentuk-bentukmu, tetapi melihat isi hatimu" (HR. Muslim). Allah sendiri telah mewanti-wanti dalam firman-Nya, "Sesungguh Tuhanmu amat sangat Maha Teliti" (QS. Al-Fajr: 14). 

Bila ada orang yang sama-sama shalat qiamul laill, sama-sama berpuasa Senin dan Kamis, belum tentu nilainya sama disisi Allah. Demikianpun dengan orang yang sama-sama berperang menghadapi musuh, sama-sama berani untuk mati, sama-sama meneriakkan "Allahu Akbar", tapi raportnya di sisi Allah bisa berbeda. Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, "seorang pria berperang dengan penuh keberanian, seorang berperang karena amarah, dan seorang berperang untuk mendapatkan pujian, manakah tiga sifat itu yang dapat digolongkan fii sabilillah?" Rasulullah menjawab," Barangsiapa berperang untuk mempertahankan kalimat Allah agar tetap di atas, dialah yang berada di jalan Allah" (HR.Bukhari dan Muslim). 

Suatu hari salah seorang sahabat wanita melihat sekumpulan anak muda yang berjalan pelan-pelan dan terlalu menunduk seakan menunjukkan berjalannya orang yang tawadhu'. Sahabat itupun kemudian bertanya kepada orang lain,"Siapakah mereka itu?" Ada yang menjawab, "Mereka adalah pemuda ahli ibadah". Sahabat wanita itu berkata,"Demi Allah, jika berjalan, Umar adalah orang yang paling cepat, jika berkata, suaranya paling lantang. Jika memukul, pukulannya menyakitkan. Tapi dia juga seorang ahli ibadah yang sebenarnya". (Sahabat itu hanya tidak ingin orang menilai seseorang itu ahli ibadah hanya karena bentuk pakaiannya dan cara berjalannya). 

Demikianpun dengan kisah berikut ini. Suatu kali Umar bin Khattab melihat seseorang yang pura-pura menampakkan kekhusyukannya dalam shalat dengan cara menggeleng-gelengkan kepalanya. Maka Umar langsung menyambitnya dengan biji jagung, lalu berkata,"Ada apa kamu ini? tegakkan kepalamu dan jangan membuat agama kami mati, sehingga Allah membuatmu mati. Sesungguhnya kekhusyukan itu ada di dalam hati dan bukan berada di leher". 

Mimbar diskusi, podium pidato dan segala pagelaran yang ditampilkan manusia paling gampang dijadikan alat untuk menipu. Untuk itu jangan mudah kagum terhadap pikiran-pikiran orang yang dipaparkan dalam diskusi , dalam pertemuan silaturrahmi atau apalah namanya. Jangan mudah terkecoh oleh slogan-slogan dan kata-kata manis yang dilontarkan dan disampaikan lewat podium "kehormatan". Bahkan kita tidak boleh terheran-heran pada suatu karya besar sekalipun, sebab siapa tahu sebenarnya karya yang besar itu ketika dilakukan bukan karena niat ibadah, bukan karena niat kemaslahatan ummat tetapi justru karena kepentingan "sesuatu". Dalam kaitan ini Rasulullah SAW. Berpesan, "Jangan mengagumi amal perbuatan sampai ia menyelesaikan yang terakhir" (HR. At-Thabrani dan Al-Bazzar). Kecuali memang kita benar-benar telah menyaksikan bahwa karya besar itu dimaksudkan untuk kebaikan dan telah selesai dikerjakan dengan tujuan kemaslahatan ummat dan dengan niat ibadah. Dalam hal ini tidak ada salahnya memberikan penilaian positif kepada karya itu. 

Sebagai bagian terakhir dalam tulisan ini, mari renungkan peringatan Rasulullah yang mensinyalir betapa dalam kehidupan ini banyak sekali penipuan, kemunafikan. Beliau mengingatkan agar ummat tidak mudah terkecoh, ternyata dalam kehidupan ini masih teramat banyak "musang berbulu ayam", ada udang di balik batu, ada ambisi di balik sesuatu. Sabda beliau,"Seorang melakukan amalan-amalan ahli syurga sebagaimana tampak bagi orang-orang tetapi sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka. Dan seorang lagi melakukan amalan-amalan ahli neraka sebagaimana disaksikan orang tetapi sebenarnya ia tergolong penghuni syurga" (HR.Bukhari). 

Menyikapi munculnya beberapa kasus akhir-akhir ini, mulai dari penambahan-penambahan amalan dalam beribadah, lalu kemudian pengajaran yang jauh melenceng dari apa yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah SAW. Ambillah sikap menanti dan melihat. Memutuskan seseorang bersalah itu sangat gampang, sama gampangnya memutuskan seseorang itu sangat baik misalnya, Mungkin saja kesalahan ini bukan karena diri seseorang yang dituduh salah tetapi justru oleh orang lain (dibalik layar) yang sengaja ingin mengaburkan sesuatu dibalik itu. Sekali lagi mari kita mengambil sikap yang terbaik. 

Pada saat seperti sekarang ini kita rindu kehadiran sosok manusia seperti Uasy Al-Qarny yang selalu tida menunjukkan keikhlasannya dalam berbuat sesuatu di hadapan manusia , ia hanya melakukannya untuk Allah semata. Sungguh jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang, dimana banyak orang berbuat sesuatu demi orang tertentu. Dunia ini akan damai, penuh cinta dan kasih sayang, aman dan tentram bila anggota masyarakatnya terdiri dari sosok-sosok seperti Al-Qarny, Insyaallah...

Sumber: http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?article_id=62437

Minggu, 08 Agustus 2010

Cara Membuat (Mem-posting) Tulisan/Artikel di Blog



Login (Masuk) Blog

  1. Ketikkan di alamat browser: http://www.blogger.com
  2. Di kolom "Nama Pengguna (Email)", ketikkan alamat email
  3. Di kolom "Kata Sandi (Password)", ketikkan password
  4. Klik "Masuk"
Membuat tulisan/artikel baru
  1. Cari tombol "ENTRI BARU"
  2. Di kolom "Judul", ketikkan Judul tulisan/artikel
  3. Ketikkan isi tulisan/artikel di kolom di bawahnya.
  4. Pada kolom "Label" di bawah kolom isi tulisan yang telah dibuat, ketikkan label/kategori dari tulisan yang dibuat, misalnya Opini. Atau klik Show All dan pilih label yang dikehendaki.
  5. Klik "TERBITKAN ENTRI"
  6. Untuk melihat hasilnya,  klik "Lihat Entri", atau ketikkan alamat blog di alamat browser: http://ahmadsyamsuri.blogspot.com

Mengedit tulisan/artikel lama
  1. Pada bagian kanan atas, klik "Dasbor"
  2. Klik "Edit Entri"
  3. Lihat judul tulisan yang ingin di edit, lalu klik "Edit" (letaknya di sebelah "Lihat")
  4. Rubah Judul atau isi tulisan
  5. Klik "Terbitkan Entri"
Logout (Keluar) dari Mengedit Blog
  1. Lihat di bagian kanan atas, klik "Keluar"
  2. Selesai