Rabu, 18 Agustus 2010

Gelang dan Gelar Haji

Oleh: Drs. Ahmad Syamsuri Matondang

Tulisan ini dimuat di Harian Waspada, Jum'at, 08 Januari 2010

Alhamdulillah, para jamaah haji, duyufurrahmaan yang telah berjuang dengan segenap tenaga dan apapun yang mereka miliki telah kembali ke tanah air, setelah berjuang selama 40 hari di Makkah dan Madinah. Tentunya doa dan harapan kita, semoga yang kembali ke tanah air mendapat rahmat dengan haji mabrur, dan semoga mereka yang “kembali” kepada Allah dalam perjuangan jihad besar itu, diampunkan Allah kesalahan dan dosa mereka berkat niat hajinya dan dimasukkan Allah ke dalam syurga-Nya.

Tulisan berikut ini akan memperbincangkan sedikit mengenai gelang dan gelar haji, dua hal yang selalu bersinggungan dengan para jama’ah yang baru kembali dari tanah suci. Semoga tulisan ini tidak menyinggung perasaan siapapun, jadi penulis memohon maaf atas kemungkinan kelemahan mendasar dari tulisan ini.

Haji adalah sejumlah simbol yang terbentuk dari pelbagai amalan, sebuah symbol penyerahan total tanpa syarat seorang manusia (baca: hamba) kepada Allah SWT. Haji merupakan simbol kesinambungan umat Islam dengan “bapak” nya, Ibrahim AS , karena kita menghidupkan syiarnya dan bertawaf di rumah Allah yang dibangunnya.

Haji menjadi simbol persatuan umat Islam,  tanpa memandang ras, warna kulit dan kebangsaan. Karena dasar persatuan kaum muslimin adalah aqidah, agama dan syari’at Islam. Jadi haji merupakan manifestasi prinsip-prinsip Islam; ukhuwah Islamiyah, di mana manusia merasakan secara nyata bahwa ia adalah saudara bagi setiap muslim di dunia.

Manifestasi persamaan antar berbagai bangsa dan suku serta warna kulit dan bahasa yang berbeda. Haji adalah manifestasi firman Allah, “Dan Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS. Al- Hujarat 13). Di dalam pelaksanaan haji terwujud ta’aruf akbar antar bangsa-bangsa di dunia.

Sehingga ada yang menyebut tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa haji merupakan manifestasi kesetiaan seluruh kaum muslimin terhadap satu kesatuan politik, demikian Sa’id Hawwa dalam al-Islam. Mengutip Emha Ainun Nadjib, paling tidak terdapat tiga dimensi esensial kehidupan manusia menyatu dalam pelaksanaan ibadah haji; kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Haji adalah – atau kita sebut semestinya- puncak totalitas penyatuan  antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi (tepatnya Makkah dan Madinah), walaupun memang pelaksanaan ibadah haji adalah sebuah ibadah yang diwarnai dengan kemewahan, dalam seluruh artinya

Utamanya bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Arab Saudi , haji adalah kemewahan ekonomi.
Namun tidak semua yang berangkat ke tanah suci adalah mereka yang beruang, sebab tidak sedikit yang berangkat justru karena di berangkatkan. Haji juga lebih dari sekedar “romantisme pengembaraan kultural”. Terlebih-lebih lagi haji bukan aksesoris keperluan politis, status dan kebanggan sosial, yang dalam tuntutan pelaksanaan peribadatan haji halhal itu justru harus ditanggalkan demi hakikat dan otentisitas haji itu sendiri.

Tidak sedikit memang, di antara yang berangkat haji, menjadikan gelar haji sebagai alat menaikkan “peci” reputasinya di hadapan masyarakat, utamanya ketika dicalonkan (atau lebih tepatnya mencalonkan) diri ingin menjadi “seseorang”.

Karena haji adalah simbol kepasrahan total manusia tanpa syarat kepada Allah; Ia pasrah apapun kemungkinan yang akan dialaminya selama sembilan jam lebih perjalanan pergi dan pulang di atas awan. Ia pasrah kalaupun kemungkinan cuaca Arab Saudi tidak bersahabat dengannya dan mengakibatkan dia jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia.

Seseorang yang telah pasrah total tanpa syarat seperti itu, maka dalam melaksanakan perintah-Nya tidak lagi melihat hikmah dan ma’nanya termasuk diantaranya, ia tidak akan mempedulikan apakah kelak ketika sekembalinya dari tanah suci, jiran, tetangga, keluarga, kerabat, kolega, ummat, jama’ah, akan memanggilnya dengan sebutan pak haji, buk haji.

Ia akan sadar bahwa Rasulullah Muhammad SAW, juga pernah melaksanakan haji, tapi belum pernah ia kita panggil dengan sebutan Haji Muhammad SAW. Demikianpun dengan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Belum sekalipun ingat penulis, kita memakaikan gelar Haji di depan nama-nama mereka.

Kita juga belum pernah mendengar ada orang yang menyebut ummul mukminin, Hajjah Aisyah Radiallahu Anha, atau Hajjah Fatimah az-Zahrah. Lagi pula sepertinya status haji masih kalah bersaing dengan gelar kiai , padahal yang satu produk agama sementara yang lainnya produk budaya.Tapi memang harus kita sadari, bahwa kalau seseorang disebut pak haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke tanah suci.

Tapi kalau seseorang disebut Kiai, ada beberapa dimensi yang dikandungnya; kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas- kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin tak tersosialisasikan ketika seseorang disebut haji.

Demikian juga dengan gelang yang sepanjang berada di tanah suci, “wajib” harus dipakai. Sesampai di tanah air, ia tanggalkan. Ia sadar betul bahwa tidak jarang gelang itu justru menimbulkan ria dalam diri para haji. Kalaupun kemudian ia memakainya sesekali, adalah karena ia ingin mengingatkan bahwa dirinya telah berangkat haji dan beberapa kali terselamatkan dari sesat di Arab Saudi berkat bantuan dari gelang yang ada di tangannya itu.

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79937:gelang-dan-gelar-haji&catid=33&Itemid=98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar