Rabu, 18 Agustus 2010

Golongan yang Mendapat Petunjuk

Oleh Drs. Ahmad Syamsuri Matondang

Tulisan ini dimuat di Harian Waspada 10 Agustus 2007

Dalam Al-Qur'an, lebih dari 300 kali perkataan yang berasal dari kata pokok hadaa (petunjuk) disebutkan. Ada yang berbentuk kata benda seperti hidayah, hudan dan muhtadun. Ada yang berbentuk kata kerja seperti yahdi, hadaina, hadakum, ihdina, ihtada dan lain-lain. Berulang-ulangnya kata ini disebutkan dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung pengertian yang amat penting.

Muhammad Abduh mengartikan hidayah sebagai "petunjuk halus yang menyampaikannya pada tujuan". Dalam kaitannya dengan petunjuk Allah atau hidayatullah, beliau mengartikan sebagai petunjuk Allah yang disampaikan kepada makhluk-Nya, yang dengan petunjuk itu, mereka dapat mencapai tujuan penciptaannya. 
Ibarat berjalan dimalam hari yang gelap, cahaya kilat dapat menerangi jalan bagi orang yang melintas, itulah hidayah. Kebalikan dari hidayah adalah dhilalah, kesesatan. 
Sebagaimana hidayah, kata dhilalah juga banyak diulang dalam Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sesat itu jumlahnya juga tidak sedikit, bila dibanding dengan yang mendapat hidayah. Sepanjang perjalanan dunia, hanya ada dua kelompok manusia, yakni yang mendapat petunjuk (hidayah) dan yang sesat (dhilalah).

Macam-macam Hidayah

Semua makhluk Allah di bumi pada dasarnya telah diberi hidayah sesuai dengan tingkatan eksistensinya. Makhluk yang paling rendah tingkatan eksistensinya mendapat hidayah tingkat rendah, begitu seterusnya sampai yang paling tinggi. Ada beberapa macam hidayah yang diberikan Allah kepada makhluknya.

Pertama, hidayah Tabi'i. Dalam hal ini dikemukakan sebuah contoh, seorang bayi belum bisa mengungkapkan keinginan dan kebutuhannya dengan katakata, bahkan ia sendiripun belum mengetahui apa sebenarnya kebutuhannya itu. Akan tetapi agar sibayi tetap dapat mempertahankan kehidupannya, Allah SWT, memberikan kepadanya hidayah tingkatan thabi'i. Dengan itu ia bisa menangis ketika terasa lapar dan haus atau sedang kedinginan dan orang disekitarnya mengerti apa keinginan si bayi dengan tangisnya itu.

Kedua, hidayah hawasi. Hawas berarti alat badani yang mudah berasa atau bergerak (peka) manakala mendapatkan rangsangan dari luar dirinya, seperti rangsangan bau, suara atau cahaya. Pada hewan hidayah ini telah diberikan Allah sejak mereka lahir, secara sempurna. Lain halnya dengan manusia, alat inderawinya berproses dalam waktu yang agak lama. Setelah mengalami beberapa kali percobaan dan serangkaian pengalaman, barulah fungsi-fungsi indera itu bisa aktif. Adapun indera manusia yang paling cepat tumbuh adalah pendengaran kemudian menyusul penglihatan, perasaan dan perasa tubuh.

Ketiga, hidayah Aqli. Jika hidayah thabi'i dan hawasi diberikan kepada makhluk hewani, hidayah  ketiga ini khusus diberikan kepada manusia. Inilah yang membedakan manusia secara tegas dengan makhluk binatang. Melalui hidayah akal ini manusia mengetahui baik dan buruk. Dengan akalnya, manusia mempunyai harga diri, rasa malu dan kesadaran moral lainnya. Jika ada manusia yang tidak mempunyai rasa malu, maka sesungguhnya ia telah kehilangan alat kontrol dirinya berupa hidayah akli. 

Dengan akal pula manusia dapat membetulkan beberapa kesalahan dua hidayah sebelumnya. Misalnya, mata melihat bintang-bintang di langit lebih kecil dibanding dengan bulan. Dengan akalnya manusia kemudian dapat memberi penjelasan bahwa sebenarnya bintang jauh lebih besar dibanding bulan. Mengapa kelihatannya bintang lebih kecil? Adalah karena jaraknya yang lebih jauh dari bumi dibanding bulan.
Keempat, hidayah diini. Hidayah ini menyempurnakan semua hidayah yang disebut sebelumnya. Manusia tidak cukup hanya mengandalkan akalnya saja. Sebab bagaimanapun hebatnya, akal manusia mempunyai keterbatasan. Kebenaran yang dicapai akal hanya bersifat relatif, adapun kebenaran hakiki adalah kebenaran agama. 

Ada beberapa hal dalam agama yang tidak tertangkap oleh akal manusia, seperti keberadaan Allah dan kehidupan pada dimensi di luar kehidupan dunia. Agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki dan hidup sejahtera, maka Allah telah menurunkan petunjuk berupa agama (di'in). Pada setiap manusia, Allah SWT. telah memberikan potensi agama, yang dikenal dengan istilah "hanif" atau "fitrah". Dalam menerima kebenaran ini, manusia terbagi dua, ada yang menerima dengan baik tetapi ada yang menolak. 

Sebenarnya ada satu lagi hidayah yang diberikan Allah  kepada manusia yaitu hidayah taufiqi. Hanya orang-orang tertentu saja dari hamba-hamba Allah yang terpilih untuk menerima hidayah jenis ini. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai kekasih Allah. Taufiq berarti "sesuai atau tepat." Artinya, kehendak manusia bertepatan dengan kehendak Allah, rencana manusia bersesuaian dengan rencana-Nya. Contoh, manusia yang mendapat hidayah taufiq  ini senantiasa berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah, sedang Allah sendiri juga berkehendak agar manusia mendekatkan dirinya kepada-Nya. Maka jadilah shalat (yang merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT), terasa ringan  mengerjakannya. Sebaliknya mereka yang tidak mendapatkan hidayah taufiqi akan merasa berat, malas mengerjakan shalat itu.

Yang mendapat petunjuk

Ada beberapa macam manusia yang mendapatkan petunjuk. Ada dengan cara yang sangat mudah, ada yang berat, bahkan ada yang tidak bisa mendapatkannya.
Allah SWT. Tidak akan pernah memberikan hidayah kepada yang jahat lagi aniaya dan kepada mereka yang memang tidak mau menerimanya. Karena hanya orang-orang baik saja yang mampu memikulnya, yaitu para muhsiniin dan muttaqiin. Allah SWT. berfirman: "Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS. Luqman: 1-2). Ayat yang lain, Allah menegaskan,"Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberikan petunjuk orang-orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus" (QS. Al-Baqarah: 213).

Sebaliknya hidayah tidak diberikan Allah kepada orang yang tidak dikehendakinya, yakni orang yang fasik, dhalim dan kafir, yang hanya mendapatkan dhilalah, kesesatan hidup di dunia dan akhirat. Tentang hal ini, Allah berfirman," Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang fasik" (QS. Al-maaidah: 108), juga firman-Nya, "Dan Allah tidak menunjuki orang-orang yang dahlim" (QS. Ali Imran: 86), "Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir" (QS. At-Taubah: 37). Hidayah Allah tidak diberikan secara gratis. 

Hanya orang yang benar-benar bersunguh-sungguh dan berusaha mendapatkannya yang akan diberikan hidayah itu. Keseriusan dalam mencari hidayah Allah ditunjukkan dengan senantiasa menegakkan shalat, menunaikan zakat dan meyakini akan adanya hari akhirat (QS. Luqman: 4). Adapun orang-orang yang malas-malasan dan enggan, hidayah Allah tidak akan menghampirinya. Allah membuka rahasia hidayah ini dengan firman-Nya,"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam memperoleh hidayahKu, niscaya akan Kami tunjuki jalan-jalanKu" (QS. Al-Ankabuut: 69). 

Jadi orang-orang yang mendapat petunjuk (hidayah) Allah adalah mereka yang senantiasa berbuat baik (muhsinin), tetap taqwa, menegakkan shalat, menunaikan zakat, beriman kepada hari akhirat dengan segala  peristiwa di dalamnya serta bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Said Hawwa mengatakan bahwa orang yang tidak mendapat hidayah Allah seperti bola bulat tanpa lobang, disiram air seberapa banyakpun tidak akan ada air yang masuk ke dalamnya. Karenanya berhati-hatilah,agar hidayah Allah tidak meninggalkan kita. Kata ulama,"Barangsiapa yang ditunjuki Allah, maka tidak siapapun yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang telah disesatkan Allah, siapa pun tidak akan dapat memberikan petunjuk kepadanya. 

Ya Allah, sinari hati kami dengan hidayahMu, sebagaimana matahari menyinari bumi terus menerus, Amiin!

Sumber: http://www.waspada.co.id/index.php/index.php?option=com_content&view=article&id=1623:golongan-yang-mendapat-petunjuk&catid=33:artikel-jumat&Itemid=98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar